Selasa, 26 Juli 2016

Keinginan yg Tak Sampai
 Oleh: L_ Aina
“Nak, tidak bisakah kau mencari yang lebih baik?” Ibu menatapku dan akupun beranikan angkat bicara “Bu, ibu mau yang bagaimana? Menurutku dia sudah baik, dia ahli ilmu agama dan insyaallah dia bisa menjadi imam yang baik!”. Ibu menghela nafas, menggeleng-gelengkan kepala lalu pergi begitu saja meninggalkanku. Aku menangis sejadi-jadinya. Tuhan, apakah aku salah???, Aku tidak mengerti dengan pola pikir ibu, sungguh aku benar-benar tidak paham.
 *** 
Aku menatap ayah dan bertanya dengn isyarat mata. Ayah menghela nafas panjang “Nak, kau dengnnya tak mungkin bersatu, orangtuanya pasti mencarikan laki-laki lain untuknya!”. Ayah menatapku yang tengah kecewa. Aku menoleh pada ibu “Nak, ada baiknya jika kau mencari gadis lain dan ibu kira tetengga kita gadis yang baik”. Aku bangkit dari kursi, melangkah pergi ke puncak bukit di belakang rumah. Aku sungguh tak dapat menerima keputusan ini. “Kenapa ayah dan ibu tak yakin padaku dan kenpa mereka berkata seperti itu?. Aku mencintainya, bukan wanita lain!!!. Aku menngerutu sendiri. Ya Tuhan, apa yang harus aku perbuat? Banyak laki-laki lain yang juga ingin memilikinya, sedang orang tuaku tak memberikan restunya padaku! Aku tidak bisa jika harus meninggalkannya, aku sangat mencintainya Tuhan............... Aku terdiam menatap angkasa yang hampir padam. Dadaku bergemuruh hebat, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana, tapi dalam hatiku aku yakin aku bisa. 
***
 “Ana, sudah kau jangan bersedih”. Dia hanya diam tak bergeming. Untuk sepersekian menit kami sama- sama terdiam. “Jika nantinya aku kalah dalam peperangan ini dan tak ada harapan lagi untuk bisa memilikimu. Tolong, sisakan satu ruang kecil dihatimu untuk sebaris nama kumbang yang gagal!” Aku menghela nafas panjang. Ana menangis lagi, aku ingin mengusap air matanya tapi aku tak bisa, aku ingin memeluknya untuk menenangkannya tapi itu tidak mungkin. Diapun berpamitan untuk pulang. Di bukit inilah kami biasa bertemu dan di bukit inilah semua rasa sering ku adukan. Seperempat perjalananku terhenti oleh seorang pemuda tampan dan terpandang, namanya Ifqan, sempurna memang, tapi sayang dia sombong! Dia juga menyukai Ana sama sepertiku. Setiap kali dia melihatku berbincang dengan Ana, dia selalu saja menghinaku, merendahkanku, mencaciku seakan aku memang benar-benar tidak pantas untuk memiliki Ana. Seketika dia meludah didepanku, aku hanya diam, menatapnya tajam. “ Kau boleh menghinaku, kau boleh mencaciku dan kau boleh merendahkanku serendah-rendahnya,tapi kita lihat siapa yang akan mendapatkan hatinya dialah yang berhak bersamanya”. Akupun pergi tanpa menghiraukan perkataannya. 
*** 
 “Bu, kenapa ibu tidak meminta pertimbanganku?, aku punya hak bu, aku punya hak!!!” Hatiku berdentum hebat, aku benar-benar tidak dapat menerima keputusan ini. “Ini sudah yang terbaik Ana, dia putra kyai ibu tidak mungkin menolaknya”. Aku menoleh pada Ayah “Sudah jangan selalu membantah!!!” GDuBBRaAkkKKKK.......!!!! aku membanting pintu berlari sejauh mungkin. Biarlah ayah memanggilku aku tidak perduli, mereka semua egois tidak perduli dengan perasaanku. Aku hanya ingin berlari, menjauh sejauh-jauhnya. Jilbabku basah oleh air mata. Langkahku terhenti, suram “Akh.... SakiT!! Kepalaku......Ya Allah” Tit tit tit tit tit tit ti...................t!! . 
 *** 
 “ Ayah, apa yang ayah lakukan ? atas dasar apa ayah melakukannya?” aku menatap ayah penuh amarah “ tidak ada pilihan lain Furqan, ayah sudah yakin dengan semua ini!”. “Kenapa aku tidak tahu ayah?, aku laki-laki, aku punya hak memilih siapa yang akan menjadi pendamping hidupku, kenapa pertunangan ini bisa terjadi tanpa sepengetahuanku???”. Dadaku bergemuruh, apa yang ayah lakukan. Ibu berusaha membujukku menuruti apa kata ayah “ Tidak bu, aku tidak mau menikahinya, aku mencintai Ana bu, aku mencintai Ana!!!”. Aku melangkah entah kemana, langkahku tak tentu arah. Lelah , letih. Tuhan.... aku harus bagaimana?. 
*** 
 Di tengah perjalananku yang entah dimana aku dikejutkan oleh seorang kakek yang berteriak-teriak minta tolong, tapi tak ada seorangpun yang bisa ia temui. Akupun menghampirinya dan bertanya “ada apa kek?” , tapi dia tak menjawabku dia malah membawaku ke perempatan jalan sana. Dengan nafas yang ter senggal-senggal dia berkata “tolonglah nak, kakek menemukan seorang gadis terkapar di perempatan jalan di ujung sana, kakek tidak bisa jika hanya sendirian kakek ini sudah tua renta”. Akupun berlari ke ujung perempatan sana. Deg... pacuan jantungku terhenti. Siapa ini?..sesaat setelah aku melihat sudut wajahnya,aku tak percaya dengan apa yang baru saja ku lihat. “Innalillahi wa innailaihi raaji’uun.......Ana!!!”. Ya Allah ya Robb,, apa yang terjadi pada Ana? Kenapa dia bisa seperti ini?. Aku merangkul tubuh kaku dan bersimbah darah, menangis tanpa tahu malu. “Ya Tuhan...... apa yang kau lakukan, kenapa kau mengambilnya dariku? Aku tak sempat membuatnya tersenyum Tuhan...aku tak sempat membuat matanya kering dari kesedihan” Sungguh, hari ini langit seakan-akan runtuh menimpaku. Tubuh ini kaku, bibir ini biru. Tak ada lagi tawanya,tak ada lagi senyum yang bisa kulihat, tak ada lagi canda tawanya, tak ada lagi....... semua musnah. “Tuhan ...... kenapa kau ambil bungaku seperti ini? Kenapa bukan aku saja Tuhan.... kenapa bukan akuuuuuuuuu.......?????? kenapa harus Ana yang pergii” 
Sumenep, 19 Nov. 15
MUSIBAH
Malam tanpa cahaya
Malam tanpa seulas senyuman rembulan
Malam tanpa deretan pola-pola bintang
Bayangan halilintar berkelebat
Dedauanpun gugur bersama angin dermaga
Entah kenapa malam ini awan seakan menampakkan gigi taringnya
Menyeringai penuh hasrat ingin menelan sang rembulan yang bergelimang darah
MERINGIS,,,, TAK bergeming dan menangis sejadi-jadinya
Tertelan bersama seruan aksara yang tak kumengerti kelam....... sunyi......
Tenggelam bersama rintihan tangis sang dewi

Kamis, 21 Juli 2016



Idealisme; Harga Mati atau Adagium Basa-Basi
(Upaya mempertahankan identitas di tengah kemelut politik yang menggelitik)
            Dalam hazanah gerakan sosial (social movement) dan literatur gerakan politik (political movement) posisi aktivis memiliki tempat yang diperhitungkan. Meski Gerakan sosial dipahami sebagai upaya kolektif untuk mengubah norma dan nilaitetapi dalam upaya kolektif itu hampir tidak hening dari suara dan peran aktivis yang menonjol.
            Gerakan sosial dan gerakan politik selalu meniscayakan peran penting aktivis di dalamnya. Aktivis dalam pengertian etimologis dipahami sebagai seseorang yang aktif dalam sebuah gerakan dan concern dengan idealitas bidang yang diperjuangkannya. Hal empirik yang sering ditunjukan oleh aktivis adalah sikap idealismenya, sikap kritisnya, leadership-nya, pembelaannya pada kaum lemah, dan bahkan sikap militannya. Sejumlah indikator manifes itulah yang melekat pada seorang aktivis. Masa aktivisme ini biasanya berlangsung bersamaan dengan aktivitasnya di sebuah organisasi.
            Dalam pandangan lainnya—kerap sekali aktivis dikaitkan dengan konsep idealnya (tentang politik). Tidak henti-hentinya para aktivis biasanya mengkritisi kebijakan-kebijakan yang telah pemerintah terapkan. Hal ini didasarkan atas peran aktivis di dalamnya (dunia per-politik-an). Namun pertanyaannya, mungkinkah seorang aktivis mampu menjadi angsa putih di antara angsa abu-abu tatkala diberi kesempatan hidup dalam dunia per-politik-an (baca; politik Indonesia)?. Perlu juga mengingat pepatah lama Indonesia, bahwa untuk mengetahui seseorang benar-benar baik, maka berilah ia kesempatan untuk menjadi pemimpin. Karena saat itu ia akan menunjukkan dirinya yang sebenarnya—tanpa dikecualikan para aktivis.
Pergeseran Aplikatif Aktivis
            Ada semacam pergeseran dari social capital (modal sosial) yang dimilikinya saat menjadi aktivis kemudian bergerak ke arena politik. Mereka para aktivis seringkali dinilai publik atau kelompok politik sebagai memiliki daya tarik dan jaringan yang luas. Mereka kemudian masuk ke gerbong politik partai atau non partai hingga masuk ke lingkaran kekuasaan. Titik paling krusial dari aktivis adalah pada titik ini, yaitu ketika memasuki lingkaran kekuasaan.
            Aktivis, erat sekali dengan ungkapan menggelitiknya “harga mati” di dalam mempertahankan kebenaran. Namun nilai-nilai yang terkandung di dalam ungkapan itu perlahan-lahan hilang bersama perjalannya di dunia politik. Suatu masa pengabdian bagi aktivis sekaligus masa mempertahankan idealisme sesuai kaidah-kaidah hidup berdasarkan nilai-nilai humnasime-ertis.
            Atau aktivis mahasiswa  yang dulunya sangat radikal rela mati menolak kenaikan harga BBM. Lalu setelah menjadi anggota DPR, ketika harga BBM dinaikkan mereka tidak bisa bersuara. Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa atau bahkan diam. Dalam konteks ini diantaranya mungkin bisa dipelajari pada kisah Adian Napitupulu, mantan pentolan gerakan mahasiswa Forum Kota (Forkot). Inilah salah satu contoh aktivis yang tidak mengindahkan terhadap nilai-nilai idealismenya.
            Contoh lain misalnya, kasus ketua partai atau pimpinan partai yang berlatar belakang aktivis kemudian tersangkut kasus korupsi dan mendekam di penjara. Dalam konteks ini mungkin diantaranya bisa dipelajari pada kisah Anas Urbaningrum. Dari beberapa contoh ini, setidaknya kaum aktivis masa kini dapat mengambil hikmah dan pelajaran—di dalam mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa aktivis bukan “iblis”.
            Dari hal itulah menjadi penting, untuk segera menoleh pada sejarah aktivis tempo dulu. Yang tidak hanya pintar beradu argumen dan semacamnya. Lihatlah, pengorbanan dan derita demi kepentingan nasional rakyat adalah keniscayaan jalan juang yang kaum aktivis pilih. Bukankah generasi emas masa depan republik ini adalah mereka generasi baru yang tangguh memilih jalan juang? Bukan mereka yang mudah menyerah dan mudah putus asa.
            Duhai kawan aktivis, tengoklah masa depan anak muda dan negeri ini. Luka menyayat hati tergores pragmatisme aktivis. Duhai aktivis muda yang masih terjaga, perjelas garis demarkasimu. Menjaga jalan juang adalah keniscayaan ditengah miskinnya teladan aktivis saat ini. Semoga adagium harga mati bukan sekedar basa-basi. Selamat berjuang kaum aktivis, tindasalah ketidak benaran.
             * Senoles bedeh e Annuqayah
Lubangsa Selatan




Sekilas IKSANDALIKA dan lain-lain
Herman L
            Dalam catatan sejarah, Lubangsa Selatan tercatat memiliki ORDA (organisai daerah) mulai tahun 2003. Yakni dengan lahirnya Ikatan Santri Muda Lima kecamatan (Iksandalika). Lima kecamatan yang dimaksud yaitu, Kecamatan Dungkek, Gapura, Batang-Batang, Manding dan Gili. Organisasi ini, menjadi organisasi tunggal yang ada di Lubangsa Selatan, karena selain Iksandalika Lub-Sel tidak mempunyai organisasi yang lain, yang memiliki orentasi ke masyarakatan.
            Tidak akan ada bangunan yang kokoh, apabila tidak ada yang merencanakan dan membangun bangunan itu. Begitu pula organisasi Iksandalika, organisasi ini tidak berdiri dengan sendirinya, tetapi memang telah direncakan dan rencana itu diwujudkan. Dan dibalik kelahiran organisasi ini, ada beberapa sosok yang memainkan perannya dalam melancarkan proses “persalinan”. Sebut saja kak Erdi (Jadung Dungkek), Imam S. Arizal (Gapura), Tolak, Ibnu, Zainal, Matrawi, Matrahiem, Amir, dan teman-temannya yang lain.
            Pada mulanya mereka menaruh simpati terhadap orda-orda yang telah ada di Pondok Pesantren Annuqayah. Dan dari rasa simpati itu, mereka sadar bahwa ternyata ada sejuta kebaikan yang didapat dalam dunia ke-organisasi-an. Dari itulah kemudian, mereka mempunyai inisiatif untuk segera merencanakan dan membangun organisasi juga dalam pesantren daerahnya sendiri, yaitu Lubangsa Selatan. Ijtihad mereka bukan dimaksudkan untuk meniru adanya orda-orda yang telah ada, namun mereka lebih pada kebaikan yang didapat dari adanya organisasi.
            Singkat kisah, lahirlah organisasi itu dalam keadaan “sehat”, kemudian mereka memberinya nama Iksandalika. Organisasi ini kemudian mengkonsep kegiatannya yaitu dengan kegiatan rutinitas, yang isinya lebih pada pelatihan mental anggota. Dimulai dari pelatihan MC, Menjadi Qori’, Menjadi Pemimpin Shalawat, belajar sambutan, Belajar menjadi  penceramah dan lain semacamnya. Hal ini dikemas dalam bentuk pengajian, laiknya pengajian sungguhan—dalam rangka mengukur kemampuan setiap anggota.
            Waktu terus berjalan, kegiatan demi kegiatan terus disempurnakan oleh “bayi” yang baru lahir itu. Hingga saat ia baru belajar merangkak, ia mencoba memperlihatkan kemampuannya pada masyarakat. Dan ia sepakati kerja sama untuk melaksanakan kegiatan pengajian sungguhan, yang di letakkan di Desa Jadung. Inilah kegiatan pertama yang dilaksanakan Iksandalika yang berhubungan langsung dengan masyarakat, dan kegiatan ini juga sebagai awal pembuktian kualitas angota-angota Iksandalika. Dan alhamdulilah, sekalipun masih belum bisa merangkak secara sempurna, tetapi mereka percaya bahwa ia bisa dipercaya.
            Semakin bertambah hari, semakin bertambah pula umur bayi itu. Hingga saatnya ia sudah tahu berjalan. Tetapi jangan pernah bayangkan ia bisa berjalan secara mudah, tetapi melalui proses yang panjang, meletihkan, butuh pengorbanan dan melelahkan tentunya. Namun semangat untuk bertahan dalam keadaan apapun, mengalahkan rasa-rasa tak nyaman itu. Hingga saat ini usia organisasi Iksandalika telah berumur kurang lebih empat belas tahun.
            Dalam perkembangan hidupnya, mulai “bayi” sampai saat ini, telah banyak orang yang mengabdikan dirinya pada organisasi ini. Dimulai (2003-2005) ada kak Erdi, Faishal, Kholik, Syamsuni, Farid, Kholil, Yondriani Akbar, Ach. Imamuddin, Mazzawi, Herman S dan Ainur Rifqi sampai saat ini. Mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk tetap mempertahankan organisasi ini.
            Dan telah banyak pula kegiatan-kegiatan yang berhasil disempurnakan. PHBI (Peringatan Hari Besar Islam) misalnya, yang diadakan secara rutin setiap tahun. Kegiatan rutinitas yang tetap berjalan dalam keadaan apapun, penerbitan selebaran dan dialog menjadi serangkaian kegiatan unggulan yang dimiliki oleg organisasi ini.
            Inilah sekila cerita kelahiran Iksandalika, yang mimpi besarnya adalah mewujudkan insan teladan titipan Tuhan, penegak bangsa pembela agama. Tetapi mungkin masih banyak di antara mereka yang belum tahu organisasi ini, tetapi organisasi ini banyak tahu tentang segalanya. Semoga untaian doa selalu berjalan beriringan dengan langkahnya. Amin.


 Pendidikan Indonesia; Merisaukan dan Menggelikan
(Upaya bersikap bijak ditengah kemelut prilaku amoral remaja)
            Pendidikan indonesia saat ini sedang dihadapkan pada berbagai persoalan—prilaku amoral. Sebut saja misalnya, pelecehan seksual, penyalahgunaan obat terlarang (konsumsi narkoba), tawuran antar pelajar, dan banyak prilaku tidak  etis lainnya yang dilakukan oleh remaja. Dari berbagai kasus itulah, pendidikan merupakan instrument penting yang dapat merevitalisasi degradasi moral yang kian kompleks ini.
            Sebagai mana mafhum pendidikan merupakan cara untuk memperbaiki akhlak manusia. Baik buruknya moral manusia tergantung  pada pola gerak pendidikan. Hal inilah yang menjadi maksud, bahwa peradaban suatu bangsa akan sangat bergantung pada pendidikan—signifikansi peran pendidikan dalam peradaban .
             Dari beberapa persoalan di atas, bagaimana seharusnya pendidikan bersikap. Dan mungkinkah pendidikan Indonesia berhasil ataupun sebaliknya ?. Tatkala kita memperhatikan terhadap upaya yang dilakukan oleh pemerintah, setidaknya telah menunjukkan, bahwa pemerintah sudah mengupayakan agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Sebut saja misalnya, kurikulum pendidikan yang terus disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman, digalakkannya untuk menghindari narkoba, dan banyak usaha-usaha yang lainnya.
            Inilah salah satu sikap yang telah dilakukan pemerintah sebagai pengelola pendidikan—sikap dunia pendidikan. Namun sayangnya, usaha-usaha yang telah dilakukan hanya berbentuk frase atau angan-angan (fiktif belaka)—ketika didasarkan pada kenyataan remaja (mayoritas) sebagai makhluk terdidik yang masih saja melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak manusiawi—amoral.
            Dalam pembacaan yang sangat asketis pada kondisi dunia pendidikan kita, hal di atas terjadi disebabkan karena substansi sifat ke-manusia-an tidak tertanam pada peserta didik. Apa hubungannya antara sifat ke-manusia-an dengan kegagalan proses pendidikan yang mengakibatkan terjadinya prilaku amoral ?. jelas mempunyai relasi yang sangat erat. Hal ini terlihat pada tatanan nilai yang dikandung dalam paham ke-manusia-an yang mengajarkan tentang maslahah atau kerukunan antar manusia yang hidup.
Dari konteks pemaknaan itulah bisa kita bandingkan, dan dapat kita artikan mengenai sifat ke-manusia-an, yakni tidak lebih dari perwujudan prilaku yang layak bagi manusia itu sendiri. Bobroknya praktek pendidikan—manusia yang ber-kepribadian, di dalam konteks hidup yang sebenarnya—adalah bagian dari indikasi minimnya sifat ke-manusia-an ini pada jiwa peserta didik. Sehingga berbagi persoalan saling tumpang tindih dan tidak kunjung menemukan solusi.
            Sudah berbagai cara yang telah diupayakan oleh pemerintah, dalam rangka memperbaiki pendidikan Indonesia. Misal, dengan digalakkannya pendidikan karakter—penekanannya pada iman dan takwa, kampanye menolak penyalah gunaan obat terlarang, dan berbagi macam. Namun sayangnya, usaha-usaha itu seolah tidak membuahkan hasil—hanya sebagai usaha yang menguras tenaga. Ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam merevitalisasi terjadinya degradasai moral pada manusia pendidikan ini.
            Seburuk-buruknya manusia ia pasti mempunyai “hati”—wilayahnya perasaan. Dan menjadi hukum kausal, bahwa manusia akan baik tatkala hatinya sedang baik. Dari itu juga membuat kita terbangun untuk sadar bahwa menyalahkan pendidikan sebagai proses yang salah karena lahirnya manusia yang “premature” dalam aksi kebaikan, dapat dikira kurang tepat. Karena yang dapat dijadikan kebenaran fungsional—adalah lemahnya sifat ke-manusia-an tersebut.
            Peran penting yang perlu diusahakan saat ini, adalah memerankan proses pendidikan cinta dan kasih sayang. Dalam artian—kepentingan pendidikan pragmatis yang sering dilakukan oleh beberapa pihak harus lenyap dalam pendidikan. Pendidikan ini juga lebih menekankan pada sifat merasa terhadap apa yang dirasakan oleh setiap peserta didik—meliputi, yang menjadi kebutuhan dan keinginannya.
            Sehingga penanaman nilai-nilai pendidikan dapat secara mudah tersampaikan, dan bukan lagi hanya menjadi teori belaka—namun benar-benar disempurnakan oleh aplikasi nyata dalam kehidupan. Bobroknya moral, dan perilaku anti-kemanusiaan lainnya tidak akan lagi terdengar dalam ruang Indonesia.


Humanisme dalam Himpitan Imperium Histori dan Era Global
            Dalam ungkapan sejarah, kita dapat jumpai kehidupan yang mengerikan. Yakni kehidupan yang tidak peduli pada identitas sebagai manusia. Sikap distorsi dan skeptis dijadikan alasan untuk tidak memaniskan nilai sikap humanisme. Salah satu misal, merasa terhina tatkala dari keluarga mereka melahirkan anak perempuan. Hingga pada ujung cerita, anak kecil perempuan itu dibunuh, dikubur hidup-hidup dan diberlakukan sadis lainnya. Karena dalam persepsinya, seorang perempuan hanya akan menambah beban hidup mereka, sehingga pada ujung-ujungnya kita membaca tentang kisah perbudakan saat itu.
            Hal lain yang sangat tidak manusiawi adalah adanya sekat antara orang yang miskin dan yang kaya. Sikap yang dilakukan orang yang kaya terhadap orang yang miskin cenderung arogan, semena-mena, sesukanya dan sederhananya tidak peduli tentang kemaslahatan. Yang penting baginya dirasakan kenyamanan, sekalipun diatas tangisan.
            Dari itulah, kita menyebutnya kehidupan masa dahulu (jahiliah) sebagai masa-masa kelam manusia dalam sejarah kehidupan. Kemudian ditengah berkecamuknya kehidupan, Tuhan memberikan jalan dengan hadirnya agama Islam. Menjunjung tinggi sikap saling mengakui sebagai manusia, dan untuk kemaslahatan manusia.  Banyak orang menggunakan jalan ini sebagai keindahan, sehingga kejadian-kejadian mengerikan hari sebelumnya perlahan-lahan menemukan setitik jalan tentang rasa kebahagiaan hidup.
            Dari uraian yang termaktub di atas, mengantarkan kita tentang ingatan ajaran islam, yaitu disebutkan bahwa agama islam diturunkan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin bukan la’ natal lil ‘alamin. Agama sebagai rahmat terhadap manusia tentu tidak akan lepas mengenai ajaran-ajaran baik dan nyaman. Diantara banyak ajaran yang diajarkan, salah satunya adalah sifat ke-manusia-an.
            Hingga pada saat ini, nilai dari sikap humanisme (kemanusiaan) menjadi sangat penting. Karena tidak dapat kita tafsiri, bagaimana kehidupan jika menghilangkan nilai-nilai sisi kemanusiaan. Barangkali,  kejadian seperti yang terjadi pada masa jahiliah terulang kembali. Jika demikian yang terjadi, maka kehidupan tidak akan lama lagi. Tinggal menunggu kehancuran.
            Seperti dalam sejarah kehidupan masa Jahiliah, kehilangan sikap humanisme berarti kehidupan kehilangan kemaslahatan. Tindak-tanduk prilaku yang dilakukan manusia hanya berdasarkan kenyamanan pribadi. Ia tidak peduli harus melukai orang lain. Hal ini merupakan indikasi karena sikap acuh terhadap nilai-nilai ke-manusia-an.
            Dan akhir-akhir ini, pertanda manusia menghilangkan sifat ke-manusiaan mulai akut kita rasakan. Kita sengaja dibuat tidak merasa terhadap hal ini, yakni dengan adanya pembaruan era. Hadirnya alat-alat telekomunikasi telah menyita waktu banyak orang untuk saling bersikap tidak peduli terhadap sesama. Misalnya, kasus anak yang masih berseragam SD yang tidak peduli dipanggil oleh Ibunya, setelah didekati oleh ibunya ternyata ia tengah mendengarkan lagu melalui headshet. Ketika kita perhatikan sepintas, memang tidak ada yang salah dengan hal itu, bisa saja anak barusan menyertakan alasan tengah mendengarkan lagu ketika ia ditanya oleh ibunya. Menjadi alasan rasional yang dikatakan anak itu, dan justru itu yang tidak dirasakan sebagai kesalahan.
            Sehingga tidak salah ungkapan-ungkapan ke khawatiran mengenai adanya globalisasi, yaitu menyusup perlahan-lahan dan berpengaruh sedikit demi sedikit terhadap karakter dan cara bersikap manusia pada saat ini. Hal ini menunjukkan pada posisi proporsional, antara humanisme perspektif sejarah dan humanisme penglihatan abad global. Yakni sama-sama menekan manusia untuk bersikap acuh. Yang membedakan terletak pada penerapannya, lebih halus era ini.
           

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...