Kamis, 21 Juli 2016



Humanisme dalam Himpitan Imperium Histori dan Era Global
            Dalam ungkapan sejarah, kita dapat jumpai kehidupan yang mengerikan. Yakni kehidupan yang tidak peduli pada identitas sebagai manusia. Sikap distorsi dan skeptis dijadikan alasan untuk tidak memaniskan nilai sikap humanisme. Salah satu misal, merasa terhina tatkala dari keluarga mereka melahirkan anak perempuan. Hingga pada ujung cerita, anak kecil perempuan itu dibunuh, dikubur hidup-hidup dan diberlakukan sadis lainnya. Karena dalam persepsinya, seorang perempuan hanya akan menambah beban hidup mereka, sehingga pada ujung-ujungnya kita membaca tentang kisah perbudakan saat itu.
            Hal lain yang sangat tidak manusiawi adalah adanya sekat antara orang yang miskin dan yang kaya. Sikap yang dilakukan orang yang kaya terhadap orang yang miskin cenderung arogan, semena-mena, sesukanya dan sederhananya tidak peduli tentang kemaslahatan. Yang penting baginya dirasakan kenyamanan, sekalipun diatas tangisan.
            Dari itulah, kita menyebutnya kehidupan masa dahulu (jahiliah) sebagai masa-masa kelam manusia dalam sejarah kehidupan. Kemudian ditengah berkecamuknya kehidupan, Tuhan memberikan jalan dengan hadirnya agama Islam. Menjunjung tinggi sikap saling mengakui sebagai manusia, dan untuk kemaslahatan manusia.  Banyak orang menggunakan jalan ini sebagai keindahan, sehingga kejadian-kejadian mengerikan hari sebelumnya perlahan-lahan menemukan setitik jalan tentang rasa kebahagiaan hidup.
            Dari uraian yang termaktub di atas, mengantarkan kita tentang ingatan ajaran islam, yaitu disebutkan bahwa agama islam diturunkan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin bukan la’ natal lil ‘alamin. Agama sebagai rahmat terhadap manusia tentu tidak akan lepas mengenai ajaran-ajaran baik dan nyaman. Diantara banyak ajaran yang diajarkan, salah satunya adalah sifat ke-manusia-an.
            Hingga pada saat ini, nilai dari sikap humanisme (kemanusiaan) menjadi sangat penting. Karena tidak dapat kita tafsiri, bagaimana kehidupan jika menghilangkan nilai-nilai sisi kemanusiaan. Barangkali,  kejadian seperti yang terjadi pada masa jahiliah terulang kembali. Jika demikian yang terjadi, maka kehidupan tidak akan lama lagi. Tinggal menunggu kehancuran.
            Seperti dalam sejarah kehidupan masa Jahiliah, kehilangan sikap humanisme berarti kehidupan kehilangan kemaslahatan. Tindak-tanduk prilaku yang dilakukan manusia hanya berdasarkan kenyamanan pribadi. Ia tidak peduli harus melukai orang lain. Hal ini merupakan indikasi karena sikap acuh terhadap nilai-nilai ke-manusia-an.
            Dan akhir-akhir ini, pertanda manusia menghilangkan sifat ke-manusiaan mulai akut kita rasakan. Kita sengaja dibuat tidak merasa terhadap hal ini, yakni dengan adanya pembaruan era. Hadirnya alat-alat telekomunikasi telah menyita waktu banyak orang untuk saling bersikap tidak peduli terhadap sesama. Misalnya, kasus anak yang masih berseragam SD yang tidak peduli dipanggil oleh Ibunya, setelah didekati oleh ibunya ternyata ia tengah mendengarkan lagu melalui headshet. Ketika kita perhatikan sepintas, memang tidak ada yang salah dengan hal itu, bisa saja anak barusan menyertakan alasan tengah mendengarkan lagu ketika ia ditanya oleh ibunya. Menjadi alasan rasional yang dikatakan anak itu, dan justru itu yang tidak dirasakan sebagai kesalahan.
            Sehingga tidak salah ungkapan-ungkapan ke khawatiran mengenai adanya globalisasi, yaitu menyusup perlahan-lahan dan berpengaruh sedikit demi sedikit terhadap karakter dan cara bersikap manusia pada saat ini. Hal ini menunjukkan pada posisi proporsional, antara humanisme perspektif sejarah dan humanisme penglihatan abad global. Yakni sama-sama menekan manusia untuk bersikap acuh. Yang membedakan terletak pada penerapannya, lebih halus era ini.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...