Rabu, 18 Mei 2016

pandangan ulama tentang as-sunnah, ijma', qiyas dan ijtihad



BAB I
PENGANTAR
A.    Latar Belakang
            Bahwasannya ilmu Ushul Fiqih merupakan ilmu yang sangat dibutuhkan seorang mujtahid didalam menjelaskan nash-nash dan mengelompokan sebuah hukum yang tidak terdapat nashnya, juga merupakan ilmu yang sangat diperlukan oleh qadh’I didalam memahami isi undang-undang secara lengkap, disamping pelaksanaan perundang-undangan secara adil sesuai dengan maksud syar’i.
            Umat islam telah bersepakat bahwasanya apa yang disandarkan kepada Rasul baik itu perbuatan, perkataan, atau ketetapan adalah semuanya merupakan perihal yang dijadikan Syariat dan sampai kepada kita dengan sanad yang shahih menjadi suatu dalil baik umat islam dan merupakan sandaran hukum syariat yang darinya diambil hukum-hukum syariat. Maka sunah Nabi adalah pokok kedua dalam dasar dasar syariat dan kedudukanyapun setelah Al-Qur’an dan mengikutinya adalah wajib sebagaimana mengikuti Al-Qur’an. Adapun hal tersebut diperkuatkan oleh ayat Al-Qur’an yang mana Allah memerintahkan supaya mengikuti Rasulnya serta mentaatinya.
            Adapun yang melatar belakangi pentatwinan atau pembukuan sunnah pada periode IV ini Pertama adalah adanya pemerintahan islam pada periode ini sudah meluas didaerah kekuasaannnya, kedua pada periode ini telah banyak orang muslim yang menguasai sumber-sumber tasrik dan mengetahui berbagai peristiwa yang pernah terjadi dan kemuskilan yang sudah teratasi oleh ulama sebelumnya. Ketiga karena Umat Islam sangat bersemangat dan antusias dalam segala aktifitasnya, baik dalam hal ibadah, muamalah dan transaksi–transaksi sosial lainnya, kempat Munculnya tokoh tokoh yang mempuyai bakat dan kemampuan yang didukung.
B.     Rumusan Masalah
                              1.            Bagaimana Pandangan Ulama Tentang As-sunnah ?
                              2.            Bagaimana Pandangan Ulama Tentang Ijma’ ?
                              3.            Bagaimana Pandangan Ulama Tentang Qiyas ?
                              4.            Bagaimana Pandangan Ulama Tentang Ijtihad ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pandangan Ulama tentang as-Sunnah
            Sunnah ialah hal–hal yang datang dari Rasulullah. baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan). sehingga dengan demikian maka assunnah itu pertama bisa berupa; as-sunnah al–qauliyah (ucapan) adalah hadis–hadis Rasulullah yang berupa ucapan di dalam berbagai tujuan dan permasalahan. kedua berupa as-sunnah al fi’liyah (perbuatan), yaitu perbuatan Rasulullah SAW. seperti melakukan sholat wajib lengkap dengan tata caranya (kaifiyahnya) atau cara pelakssanaan ibadahnya. Dan ketiga bisa berupa as-sunnah At-taqririyah (persetujuan) yaitu perbbuatan para sahabat nabi yang disetujui oleh beliau,baik berupa perbuatan sahabat ataupun ucapannya. Dalam hal ini ungkapan persetujuan nabi tidak mesti dengan penyataan secara lisan, tetapi dengan cara membiarkannya saja sudah dianggap persetujuan dan dapat juga dikatakan beliau tidak melarang dan tidak juga menganjurkan.[1]
            Sedangkan yang dimaksud dengan pentatwinan atau disebut juga dengan pembukuan sunnah adalah mengumpulkan sunnah yang sejenis dalam satu judul ,sebagiannya dikumpulkan dengan sebagian yang lain. seperti hadis- hadis tentang salat, puasa dan lain sebagainya.
            Pemikiran timbulnya pentatwinan sunnah ini timbul pada seluruh negara–negara islam dalam waktu yang berdekatan sehingga tidak di ketahui orang yang memperoleh keutamaan di karenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu. Termasuk orang yang pertama dalam periode ini adalah Imam malik bin Anas di Madinah, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Mekkah, Sufyan bin Syauri di kufah, Hamad bin Salmah dan syaid bin Arubah di Basrah, Hasim bin Basir di wasith dan jarir bin abdul Hamid di Ray. Hal ini terjadi pada tahun 140 H lebih sedikit. pada saat ini kitab–kitab hadis masih bercampur dengan kata – kata sahabat dan tabi’in sebgai mana bisa kita lihat pada kitab milik imam malik yang berjudul al- Muwatha’.
            Pada permulaan tahun 200 H adalah merupakan tahap kedua dalam penulisan hadis atau sunnah di mana saat ini hadis Rasulullah mulai dipisahkan dari kata – kata orang lain . para pengarang atau penyusun sunnah mengrang kitab yang di kenal dengan musnad , seperti Musnad Abdulllah bin Musa Al- Kufi, Musnad Musaddad bin Masrahad Al- Bashri , Musnad Asad bin Musa Al- Mishri dan musnad Ahmad bin Hambal. Mereka meletakkan hadis pa da musnad perawinya.[2]
            Sesudah tahap ini datang tahap lain yang dihadapannya terlihat perbendaharaan besar maka maka di mukanya terbuka pintu pemilihan hadis . pada tahap ini ada dua imam besar yang merupaka tokoh As- Sunnah yaitu Abu Abdillah Muhamad Bin Ismail Al Bukhari Al- Ja’fi yang meninggal pada tahun 256 H dan Muslim Bin Hajjaj An- Naisaburi yang meninggal pada tahun 261 menyusun dua kitab sahihnya , setelah cermat dalam meriwayatkan dan memilihnya . Dua kitab shahih itulah yang merupakan puncak pembukuan Hadis, Jalah kedua tokoh itu di tempuh pula oleh Abu Dawud Sulaiman bin al- A’yasy As Sijistani yang meninggal tahun 279 H, Abu Isa Muhammad Bin Isa Al- Salmi At- Turmuddzi yang meninggal pada tahun 279 H, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al- Qazwini yang terkenal dengan Ibnu Majah yang meninggal tahun 273 H. dan Abu Abdurrahman Ahmad Bin Su’aib An- Nasa’I ang meninggal tahun 303 H. . Kitab – kitab mereka terkenal dengan kutubus sittah (kitab hadis yang enam) di kalangan muslimin kitab - kitab meraka memperoleh derajat yang paling tinggi karena para perawinya sangat terpercaya lebih – lebih buhari dan Muslim. Dalam hal ini bukan haya mereka yang berhasil menyusun buku – buku hadis atau as- sunnah , namun banyak orang lain di samping mereka hanya saja haya orang enam itu jasa yang termashur dan tidak di peroleh oleh orang selain mereka.
            Persoalan Assunnah berakhir pada periode pertengahan periode ini dan Assunnah telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan tokoh–tokoh khusus yang membahasnya, meskipun mereka tidak meneruskannya kedalam fiqh dan tidak memiliki kekuatan untuk beristimbath.
            Dalam literature lainnya juga dijelaskan bahwa Sunnah menurut  ahli ushul fiqh adalah “ segala yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan , dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum”. Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqh , di samping pengertian yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh di atas, juga dimaksudkan sebagai salah satu hokum taqlifih, yang mengandung pengertian “perbuataan yang apabila dikerjakan mendapat pahaladan apabila ditinggalkan tidak medapat siksa (tidak berdosa)”.[3]
B.     Pandangan Ulama Tentang Ijma’
Pengertian Ijma’ secara etimologi[4] dapat dibagi kepada dua pengertian yaitu:
1.      Ijma’ berarti suatu kesepakatan atau konsessus, pengertian ini dapat kita jumpai dalam firman Allah, yaitu surat Yusuf ayat: 15[5].
فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيبَتِ الْجُبِّ..... (يوسف: 15)
Artinya: “ Maka ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkannya (Yusuf) ke dasar sumur ………” (QR. Yusuf: 15)
2.      Ijma’ berarti tekad atau niat, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.  Pengertian ini dapat kita lihat dalam firman Allah surat Yunus ayat: 71.
…..فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ …… (يونس: 71)
                 Artinya: ” Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).”
     Adapun Ijma’ secara terminologi, ada beberapa rumusan Ijma’ yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh. Di antaranya Imam Al-Ghazali, merumuskan Ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara husus tentang suatu masalah agama”. Rumusan al-Ghazali ini memberikan batasan bahwa Ijma’ harus dilakukan oleh umat Muhammad SAW. saja, yaitu seluruh umat Islam.
     Selain itu juga dapat diketahui bahwa Ijma’ menurut para ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para mujtahid di kalangan ummat islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw. Wafat atas hokum syara’ mengenai suatu kajadian,
     Apabila terjadi suatu kejadian yang dihadapkan kepada semua mujtahid dari ummat islam pada waktu kejadian itu terjadi.dan mereka sepakat atas hukum mengenainya, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma’. Kesepakatan mereka atas satu hukum mengenainya dianggap sebagai dalil, bahwasanya hokum tersebut merupakan hokum syara’ mengenai kejadian itu.
     Dalam defenisi itu hanyalah disebutkan sesudah wafat Rasulullah saw., karena pada masa hidup Rasulullah, beliau merupakan rujukan pembentukan hukum islam satu-satunya, sehingga tidak terbayangkan adanya perbedaan dalam hokum syar’i, dan tidak pula terbanyangkan adanya kesepakatan, karena kesepakatan tidak akan terwujud kecuali dari beberapa orang.
     Jumhur ulama’ yang lain juga mengemukakan bahwa Ijma’ secar termenologi adalah:
اِتَّفَاقُ جَمِيْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِي عَصْرٍ مِنَ الْعُصُوْرِ بَعْدَ وَفَاةِ الرَّسُوْلِ عَلَى حُكْمٍ مِنَ الاَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ اْلعَمَلِيَّةِ.
Artinya: “ Kesepakatan seluruh Mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafatnya Rosulullah SAW., akan suatu hukum syari’at yang amali.”
     Jumhur ulama’ yang lain juga berpendapat bahwa Ijma’ adalah “Kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rosulullah SAW. Terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly)”.[6]
C.     Pandangan Ulama Tentang Qiyas
            Qiyas secara etimologi berarti mengukur suatu atas sesuatu yang lain, dan kemudian menyamakan antara keduanya. Menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum, suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum sesuatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa.[7]
            Pengertian Al-Qiyas menurut Isam Syafi’I akan diketahui apabila ditelusuri beberapa keterangannya di tempat terpisah yang menyangkut AL-Qiyas antara lain :
وَاْ لقِياَسُ مِنْ وَ جْهَيْنِ اَ حَدُ هُمَاَانْ يَكُوْنَ الشَّىْ ءُ ص مَعْزَ اْلاَ صْلِ فَلاَ حينتَلفِ فِيْهِ واَ نْ يَكُوْ نَ ا لشَّىْ اْلاَ صْدِ اَ شْباَ هٌ فَزَ لِكَ يَلْحَقُ بِاُ وْ لاَ هاَ شِبْهًا نِيْهِ وَ قَدْ يخَْتَلِفُ القـاَيِسُوْ نَ فىِ مَذَا
 “Al-Qiyas dapat ditinjau dari dua segi. Pertama bahwa suatu peristiwa buru (fara’) sama betul dengan makna asli, maka dalam hal ini al-qiyas tidak akan berbeda; Kedua, bahwa suatu peristiwa mempunyai kemiripan dengan beberapa makna pada paling utama dan lebih banyak kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini sering terjadi perbedaan pendapat para pelaku qiyas”
وَاْلقِياَ سُ ماَ طَلََبَ الرَّ لاَ ئِلُ عَلرَ مُوَا فِقِهْ ا خَبَرُ اْلمتُقًدِّ مُ مِنَ اْ كِتاَ بِ وَا لُّسنَّهِ لأَِ نهَّمُاَ عِلْمُ أْ حَـقِ اْ لمُفْتَرِضِ طَلَبُهُ
Al-Qiyas itu adalah metode berpikir yang dipergunakan untuk mencari suatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar yang sudah ada, baik AL-Qur’an maupun AL-sunnah karena keduanya merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang wajib di cari.
فاَ لاْ جْتِهَاىُ ابَدً الاَ يَكُوْ نُ اِ لاَّ عَلىَ طَلَبَ شَرْءٍو طَللَبُ الشَرْءٍلاَيَكُوْنَ اِلاَّ بِدَ لاَ ئِلُ هِيَ القِيـَاسُ
“ Maka ijtihad selamanya hanya boleh dilakukan untuk mencari suatu (hukum suatu peristiwa). Mencari sesuatu itu hanyalah data ditemukan dengan menggunakan berbagai argumentasi dan argumentasi itu adalah Al-Qiyas”.
اَحَرُ هُماَاَنْ يَكُوُنَ اللهُ اَوْ رَسُوْ لَهُ حَرَمَ اَ لشَّئ مَنْصُوْ صًاَاوْاحَلَّهُ لمَِعْنَ ناَِزَاوَجَدْ ناَماَنىِ مِثْدِ نَ لِكَ اْ لمَعْنَ فِيْماَلـَمْ يَنْضِ فِيْهِ لِعَيْنِهِ كِتاَ بُ وَ لاَ سُلَّةُ اَ حْلَلْناَ هُ اَوْ اَ حْرَ مْناَ هُ لاَ نَّهُ نىِ مَعْزَ اْ كَلاَلِوَاْكَرَمِ
 “ … Salah satu caranya ialah: Allah dan Rasul-Nya mengharamkan sesuatu secara tersurat (sarih eksplisit) atau menghalalkannya karena mana (‘llah) tertentu, kemudian jumpai suatu peristiwa yang tidak disebutkan dalam AL-Qur’an dan Al-Sunnah serupa dengan makna pada peristiwa yang disebutkan dalam AL-Qur’an atau Al-sunnah, maka kita tetapkan hukum halal atau haramnya peristiwa yang tidak disebutkan nash karena ia semakna dengan makna halal atau haram”.
            Pengertian Qiyas menurut Imam Syafi’i banyak mendapatkan dukungan dari ulama Ushul Fiqh di antaranya.
1.      Al-Qadii, Abu Bakaral-Baqillni mendefinisikan Al-Qiyas sebagai berikut:
حَمَلَ مَعَلُوْ مُ عَلىَ مَعَلُوْمٍ فىِ تِ حُلَْمٍ لَهُماَ اَ وْ نَفْيٍ عَنْهُماَ بِاَ مْرٍ جاَبَيْنَهُماَ
 “ Memasukkan suatu yang dimaklumi (Far’) ke dalam hukum sesuatu yang dimaklumi (asl) karena adanya ‘illah hukum yang mempersamakannya menurut pandangan mujtahid”.
2.      Sadr Al-Syari’ah Ibn Mas’ud mendefinisikannya:
تَعْدِ يَهُ اْ حُكْمِ مِنَ اْلاَصْلِ اِ لىَ اْ لغَرَ عْ بِعِلَةٍ مُحَّتِدَ ةٍلاَ تَعْرِ فُ بُجَرَّ رٍ فَهُمُ اللَّغَةُ
 “ Mengenakan hukum pada asl kepada Far’ karena adanya ‘illah yang mempersekutukannya yang tidak bisa diketahui melalui pendekatan literal semata”.
D.    Pandangan Ulama Tentang Ijtihad
            Ijtihad secara etimologi adalah, diambil dari akar kata dalam bahasa arab jahada (جَهَدَ) bentuk kata masdarnya ada dua bentuk yang berbeda artinya: Jahdun (جَهْدٌ) dengan arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius, contohnya dapat kita temukan dalam surat al-an’am (6):109.
وَ أَقْسَمُوا بِاللهِ جَهْدَ أَيْمنِهِمْ لَئِنْ جَائَتْهُمْ ءَايَةٌ لَيُؤْمِنُنَّ بِهاَ
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mujizat, Pastilah mereka beriman kepada-Nya.
            Juhdun (جُهْدٌ) dengan arti kesanggupan atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah. Contohnya firman Allah dalam surat at-Taubah (9):79,
وَ الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْم
Dan orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar kesanggupannya, maka orang munafik itu menghina mereka.
            Definisi yang Ijtihad yang dikemukakan al-Syaukani ini kelihatan dekat dengan definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama para ushul fiqh pada umumnya, yang pada pokoknya melihat bahwa  ijtihad adalah upaya optimal ahli fikih dalam menemukan hukum syara’ yang bersifat zanni. Diantara definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ ushul fiqh itu ialah yang dikemukakan oleh al-Ghazali dari kalangan ulama’ syafi’iyah yang mengartikan ijtihad dengan:
“Pengerahan kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan  tentang  hukum-hukum  syari’at”. 
            Rumusan  yang lebih dekat lagi dikemukakan oleh al-Amidi, juga dari ulama’ syafi’iyah yang berbunyi:
Mencurahkan kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zanni sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu.”
            Ijtihad adalah sebuah media yang ditempuh oleh seorang ilmuan untuk “menengok” kehendak Allah Swt. yang termaktub dalam kitab suci dan dalam tradisi (sunnah) Nabi Saw. Tidak ada seorang pun yang diberi kewenangan oleh Tuhan dan memiliki “hak prerogratif” sebagai pelaksana tugas itu secara khusus. 
            Semua menjadi tugas bersama untuk melakukan, yang mengharuskan hanyalah rengkuhan ahlak mulia saat berniat, melakukan, dan melaksanakan ijtihad sehingga hasil ijtihad tetap berada dalam bingkai pertanggung-jawaban vertikal kepada Tuhan sebagai aplikasi dari tugas manusia  sebagai Abdullah, hamba Allah dan tanggung-jawab horizontal  sebagai khalifah Allah fi al-ardl, atau pemakmur bumi Allah.
            Apabila tidak berujung pada penghambaan kepada Allah dan tidak memberikan kontribusi untuk kemakmuran di muka bumi maka ijtihad seperti ini telah tercabut dari tujuannya dan bertentangan dengan kedudukan manusia.
            Dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan proses penggalian hukum Islam yang dilakukan oleh seorang fakih dengan suatu upaya yang bersifat maksimal yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci. Istilah ijtihad dalam periode awal dipergunakan dengan pengertian yang lebih sempit dan lebih spesifik daripada yang kemudian digunakan pada masa al-Syafi’i dan di masa sesudahnya.
            Istilah tersebut mengandung arti pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli. Sebagai contoh, ada satu riwayat mengenai Umar bin Khattab bahwa pada suatu hari pada bulan Ramadlan, ia mengumumkan tibanya saat berbuka ketika matahari tampaknya telah terbenam. 
            Setelah beberapa saat, ia diberitahu orang bahwa matahari terlihat kembali di ufuk Barat (karena sebenarnya belum terbenam). Atas hal ini dikabarkan ia menyatakan: “Bukan soal yang gawat, kami sudah berijtihad.” (qad ijtahadna).[8]













BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
       Sunnah ialah hal–hal yang datang dari Rasulullah. baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan). sehingga dengan demikian maka assunnah itu pertama bisa berupa; as-sunnah al–qauliyah (ucapan) adalah hadis–hadis Rasulullah yang berupa ucapan di dalam berbagai tujuan dan permasalahan. kedua berupa as-sunnah al fi’liyah (perbuatan), yaitu perbuatan Rasulullah SAW.
       Ijma’ menurut para ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para mujtahid di kalangan ummat islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw. Wafat atas hokum syara’ mengenai suatu kajadian.
       Qiyas secara etimologi berarti mengukur suatu atas sesuatu yang lain, dan kemudian menyamakan antara keduanya. Menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah mempersamakan suatu hukum, suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum sesuatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa.
       Dan Ijtihad adalah ijtihad adalah upaya optimal ahli fikih dalam menemukan hukum syara’ yang bersifat zanni. Diantara definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ ushul fiqh itu ialah yang dikemukakan oleh al-Ghazali dari kalangan ulama’ syafi’iyah yang mengartikan ijtihad dengan:
“Pengerahan kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan  tentang  hukum-hukum  syari’at”.










DAFTAR PUSTAKA
            Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushulul Fiqh); Penerjemah, Noer  Iskandar al-Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, 2000, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
            Chairul Uman, dkk, Ushul Fiqih 1, 1998, Bandung: Pustaka Setia.
            Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 2012, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro.
            Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, 2002, Jakarta: Pustaka Firdaus.
            Dr. Rachmat Syafi’i, M. A., Ilmu Ushul Fiqih, 1999, Bandung: CV. Pustaka Setia.



[1] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushulul Fiqh); Penerjemah, Noer  Iskandar al-Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000). Hal 87
[2] Ibid. Hal 89
[3] Chairul Uman, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1998). Hal 176
[4] Chairul Uman, dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1998). Hlm 73
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2012). Hlm 237
[6] Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). Hlm. 308
[7] Dr. Rachmat Syafi’i, M. A., Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999). Hal 265
[8] Prof. Muhammad Abu Zahrah. Hal 205

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...