BAB I
PENGANTAR
A.
Latar Belakang
Bahwasannya ilmu Ushul Fiqih
merupakan ilmu yang sangat dibutuhkan seorang mujtahid didalam menjelaskan
nash-nash dan mengelompokan sebuah hukum yang tidak terdapat nashnya, juga
merupakan ilmu yang sangat diperlukan oleh qadh’I didalam memahami isi undang-undang
secara lengkap, disamping pelaksanaan perundang-undangan secara adil sesuai
dengan maksud syar’i.
Umat islam telah bersepakat
bahwasanya apa yang disandarkan kepada Rasul baik itu perbuatan, perkataan,
atau ketetapan adalah semuanya merupakan perihal yang dijadikan Syariat dan
sampai kepada kita dengan sanad yang shahih menjadi suatu dalil baik umat islam
dan merupakan sandaran hukum syariat yang darinya diambil hukum-hukum syariat.
Maka sunah Nabi adalah pokok kedua dalam dasar dasar syariat dan kedudukanyapun
setelah Al-Qur’an dan mengikutinya adalah wajib sebagaimana mengikuti
Al-Qur’an. Adapun hal tersebut diperkuatkan oleh ayat Al-Qur’an yang mana Allah
memerintahkan supaya mengikuti Rasulnya serta mentaatinya.
Adapun yang melatar belakangi pentatwinan
atau pembukuan sunnah pada periode IV ini Pertama adalah adanya pemerintahan
islam pada periode ini sudah meluas didaerah kekuasaannnya, kedua pada periode
ini telah banyak orang muslim yang menguasai sumber-sumber tasrik dan
mengetahui berbagai peristiwa yang pernah terjadi dan kemuskilan yang sudah
teratasi oleh ulama sebelumnya. Ketiga karena Umat Islam sangat bersemangat dan
antusias dalam segala aktifitasnya, baik dalam hal ibadah, muamalah dan
transaksi–transaksi sosial lainnya, kempat Munculnya tokoh tokoh yang mempuyai
bakat dan kemampuan yang didukung.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Pandangan Ulama Tentang As-sunnah ?
2.
Bagaimana
Pandangan Ulama Tentang Ijma’ ?
3.
Bagaimana
Pandangan Ulama Tentang Qiyas ?
4.
Bagaimana
Pandangan Ulama Tentang Ijtihad ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pandangan
Ulama tentang as-Sunnah
Sunnah ialah hal–hal yang datang
dari Rasulullah. baik berupa ucapan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan).
sehingga dengan demikian maka assunnah itu pertama bisa berupa; as-sunnah
al–qauliyah (ucapan) adalah hadis–hadis Rasulullah yang berupa ucapan di dalam
berbagai tujuan dan permasalahan. kedua berupa as-sunnah al fi’liyah (perbuatan),
yaitu perbuatan Rasulullah SAW. seperti melakukan sholat wajib lengkap dengan
tata caranya (kaifiyahnya) atau cara pelakssanaan ibadahnya. Dan ketiga bisa
berupa as-sunnah At-taqririyah (persetujuan) yaitu perbbuatan para sahabat nabi
yang disetujui oleh beliau,baik berupa perbuatan sahabat ataupun ucapannya.
Dalam hal ini ungkapan persetujuan nabi tidak mesti dengan penyataan secara
lisan, tetapi dengan cara membiarkannya saja sudah dianggap persetujuan dan
dapat juga dikatakan beliau tidak melarang dan tidak juga menganjurkan.[1]
Sedangkan yang dimaksud dengan
pentatwinan atau disebut juga dengan pembukuan sunnah adalah mengumpulkan sunnah
yang sejenis dalam satu judul ,sebagiannya dikumpulkan dengan sebagian yang
lain. seperti hadis- hadis tentang salat, puasa dan lain sebagainya.
Pemikiran timbulnya pentatwinan
sunnah ini timbul pada seluruh negara–negara islam dalam waktu yang berdekatan
sehingga tidak di ketahui orang yang memperoleh keutamaan di karenakan lebih
dahulu dalam penyusunan itu. Termasuk orang yang pertama dalam periode ini
adalah Imam malik bin Anas di Madinah, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di
Mekkah, Sufyan bin Syauri di kufah, Hamad bin Salmah dan syaid bin Arubah di
Basrah, Hasim bin Basir di wasith dan jarir bin abdul Hamid di Ray. Hal ini
terjadi pada tahun 140 H lebih sedikit. pada saat ini kitab–kitab hadis masih
bercampur dengan kata – kata sahabat dan tabi’in sebgai mana bisa kita lihat
pada kitab milik imam malik yang berjudul al- Muwatha’.
Pada permulaan tahun 200 H adalah
merupakan tahap kedua dalam penulisan hadis atau sunnah di mana saat ini hadis
Rasulullah mulai dipisahkan dari kata – kata orang lain . para pengarang atau
penyusun sunnah mengrang kitab yang di kenal dengan musnad , seperti Musnad
Abdulllah bin Musa Al- Kufi, Musnad Musaddad bin Masrahad Al- Bashri , Musnad
Asad bin Musa Al- Mishri dan musnad Ahmad bin Hambal. Mereka meletakkan hadis
pa da musnad perawinya.[2]
Sesudah tahap ini datang tahap lain
yang dihadapannya terlihat perbendaharaan besar maka maka di mukanya terbuka
pintu pemilihan hadis . pada tahap ini ada dua imam besar yang merupaka tokoh
As- Sunnah yaitu Abu Abdillah Muhamad Bin Ismail Al Bukhari Al- Ja’fi yang
meninggal pada tahun 256 H dan Muslim Bin Hajjaj An- Naisaburi yang meninggal
pada tahun 261 menyusun dua kitab sahihnya , setelah cermat dalam meriwayatkan
dan memilihnya . Dua kitab shahih itulah yang merupakan puncak pembukuan Hadis,
Jalah kedua tokoh itu di tempuh pula oleh Abu Dawud Sulaiman bin al- A’yasy As
Sijistani yang meninggal tahun 279 H, Abu Isa Muhammad Bin Isa Al- Salmi At-
Turmuddzi yang meninggal pada tahun 279 H, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-
Qazwini yang terkenal dengan Ibnu Majah yang meninggal tahun 273 H. dan Abu
Abdurrahman Ahmad Bin Su’aib An- Nasa’I ang meninggal tahun 303 H. . Kitab –
kitab mereka terkenal dengan kutubus sittah (kitab hadis yang enam) di kalangan
muslimin kitab - kitab meraka memperoleh derajat yang paling tinggi karena para
perawinya sangat terpercaya lebih – lebih buhari dan Muslim. Dalam hal ini
bukan haya mereka yang berhasil menyusun buku – buku hadis atau as- sunnah ,
namun banyak orang lain di samping mereka hanya saja haya orang enam itu jasa
yang termashur dan tidak di peroleh oleh orang selain mereka.
Persoalan Assunnah berakhir pada
periode pertengahan periode ini dan Assunnah telah menjadi ilmu yang berdiri
sendiri dengan tokoh–tokoh khusus yang membahasnya, meskipun mereka tidak
meneruskannya kedalam fiqh dan tidak memiliki kekuatan untuk beristimbath.
Dalam literature lainnya juga
dijelaskan bahwa Sunnah menurut ahli ushul fiqh adalah “ segala yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan , dan
ketetapan yang berkaitan dengan hukum”. Sedangkan sunnah menurut para ahli fiqh
, di samping pengertian yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh di atas, juga
dimaksudkan sebagai salah satu hokum taqlifih, yang mengandung pengertian
“perbuataan yang apabila dikerjakan mendapat pahaladan apabila ditinggalkan
tidak medapat siksa (tidak berdosa)”.[3]
B.
Pandangan
Ulama Tentang Ijma’
Pengertian
Ijma’ secara etimologi[4]
dapat dibagi kepada dua pengertian yaitu:
1.
Ijma’ berarti
suatu kesepakatan atau konsessus, pengertian ini dapat kita
jumpai dalam firman Allah, yaitu surat Yusuf ayat: 15[5].
فَلَمَّا
ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيبَتِ الْجُبِّ..... (يوسف:
15)
Artinya: “ Maka ketika mereka
membawanya dan sepakat memasukkannya (Yusuf) ke dasar sumur ………” (QR.
Yusuf: 15)
2.
Ijma’ berarti tekad
atau niat, yaitu ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Pengertian ini dapat kita lihat dalam firman
Allah surat Yunus ayat: 71.
…..فَأَجْمِعُوا
أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ …… (يونس: 71)
Artinya: ” Karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu (untuk
membinasakanku).”
Adapun Ijma’ secara terminologi, ada
beberapa rumusan Ijma’ yang dikemukakan para ulama’ ushul fiqh. Di antaranya
Imam Al-Ghazali, merumuskan Ijma’ dengan “Kesepakatan umat Muhammad secara
husus tentang suatu masalah agama”. Rumusan al-Ghazali ini memberikan
batasan bahwa Ijma’ harus dilakukan oleh umat Muhammad SAW. saja, yaitu seluruh
umat Islam.
Selain itu juga dapat diketahui bahwa Ijma’
menurut para ahli ushul fiqh
adalah kesepakatan para mujtahid di kalangan ummat islam pada suatu masa
setelah Rasulullah saw. Wafat atas hokum syara’ mengenai suatu kajadian,
Apabila terjadi suatu kejadian yang
dihadapkan kepada semua mujtahid dari ummat islam pada waktu kejadian itu terjadi.dan mereka sepakat atas
hukum mengenainya, maka kesepakatan mereka itu disebut ijma’. Kesepakatan
mereka atas satu hukum mengenainya dianggap sebagai dalil, bahwasanya hokum
tersebut merupakan hokum syara’ mengenai kejadian itu.
Dalam defenisi itu hanyalah disebutkan
sesudah wafat Rasulullah saw., karena pada masa hidup Rasulullah, beliau
merupakan rujukan pembentukan hukum islam satu-satunya, sehingga tidak
terbayangkan adanya perbedaan dalam hokum syar’i, dan tidak pula terbanyangkan
adanya kesepakatan, karena kesepakatan tidak akan terwujud kecuali dari
beberapa orang.
Jumhur ulama’ yang lain juga mengemukakan
bahwa Ijma’ secar termenologi adalah:
اِتَّفَاقُ
جَمِيْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِي عَصْرٍ مِنَ الْعُصُوْرِ
بَعْدَ وَفَاةِ الرَّسُوْلِ عَلَى حُكْمٍ مِنَ الاَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ
اْلعَمَلِيَّةِ.
Artinya: “ Kesepakatan
seluruh Mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafatnya Rosulullah SAW., akan
suatu hukum syari’at yang amali.”
Jumhur ulama’ yang lain juga berpendapat
bahwa Ijma’ adalah “Kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya
Rosulullah SAW. Terhadap hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaly)”.[6]
C.
Pandangan
Ulama Tentang Qiyas
Qiyas secara
etimologi berarti mengukur suatu atas sesuatu yang lain, dan kemudian
menyamakan antara keduanya. Menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah
mempersamakan suatu hukum, suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum
sesuatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada persamaan illat hukumnya
dari kedua peristiwa.[7]
Pengertian Al-Qiyas menurut Isam
Syafi’I akan diketahui apabila ditelusuri beberapa keterangannya di tempat
terpisah yang menyangkut AL-Qiyas antara lain :
وَاْ لقِياَسُ
مِنْ وَ جْهَيْنِ اَ حَدُ هُمَاَانْ يَكُوْنَ الشَّىْ ءُ ص مَعْزَ اْلاَ صْلِ
فَلاَ حينتَلفِ فِيْهِ واَ نْ يَكُوْ نَ ا لشَّىْ اْلاَ صْدِ اَ شْباَ هٌ فَزَ
لِكَ يَلْحَقُ بِاُ وْ لاَ هاَ شِبْهًا نِيْهِ وَ قَدْ يخَْتَلِفُ القـاَيِسُوْ نَ
فىِ مَذَا
“Al-Qiyas dapat
ditinjau dari dua segi. Pertama bahwa suatu peristiwa buru (fara’) sama betul
dengan makna asli, maka dalam hal ini al-qiyas tidak akan berbeda; Kedua, bahwa
suatu peristiwa mempunyai kemiripan dengan beberapa makna pada paling utama dan
lebih banyak kemiripannya. Dalam segi yang kedua ini sering terjadi perbedaan
pendapat para pelaku qiyas”
وَاْلقِياَ سُ ماَ طَلََبَ الرَّ لاَ ئِلُ عَلرَ مُوَا فِقِهْ ا خَبَرُ
اْلمتُقًدِّ مُ مِنَ اْ كِتاَ بِ وَا لُّسنَّهِ لأَِ نهَّمُاَ عِلْمُ أْ حَـقِ اْ
لمُفْتَرِضِ طَلَبُهُ
Al-Qiyas itu
adalah metode berpikir yang dipergunakan untuk mencari suatu (hukum peristiwa)
yang sejalan dengan khabar yang sudah ada, baik AL-Qur’an maupun AL-sunnah
karena keduanya merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang wajib di cari.
فاَ لاْ جْتِهَاىُ ابَدً الاَ يَكُوْ نُ اِ لاَّ عَلىَ طَلَبَ شَرْءٍو
طَللَبُ الشَرْءٍلاَيَكُوْنَ اِلاَّ بِدَ لاَ ئِلُ هِيَ القِيـَاسُ
“ Maka ijtihad
selamanya hanya boleh dilakukan untuk mencari suatu (hukum suatu peristiwa).
Mencari sesuatu itu hanyalah data ditemukan dengan menggunakan berbagai
argumentasi dan argumentasi itu adalah Al-Qiyas”.
اَحَرُ هُماَاَنْ يَكُوُنَ اللهُ اَوْ رَسُوْ لَهُ حَرَمَ اَ لشَّئ
مَنْصُوْ صًاَاوْاحَلَّهُ لمَِعْنَ ناَِزَاوَجَدْ ناَماَنىِ مِثْدِ نَ لِكَ اْ
لمَعْنَ فِيْماَلـَمْ يَنْضِ فِيْهِ لِعَيْنِهِ كِتاَ بُ وَ لاَ سُلَّةُ اَ
حْلَلْناَ هُ اَوْ اَ حْرَ مْناَ هُ لاَ نَّهُ نىِ مَعْزَ اْ كَلاَلِوَاْكَرَمِ
“ … Salah satu
caranya ialah: Allah dan Rasul-Nya mengharamkan sesuatu secara tersurat (sarih
eksplisit) atau menghalalkannya karena mana (‘llah) tertentu, kemudian jumpai
suatu peristiwa yang tidak disebutkan dalam AL-Qur’an dan Al-Sunnah serupa
dengan makna pada peristiwa yang disebutkan dalam AL-Qur’an atau Al-sunnah,
maka kita tetapkan hukum halal atau haramnya peristiwa yang tidak disebutkan
nash karena ia semakna dengan makna halal atau haram”.
Pengertian Qiyas menurut Imam
Syafi’i banyak mendapatkan dukungan dari ulama Ushul Fiqh di antaranya.
1.
Al-Qadii, Abu Bakaral-Baqillni mendefinisikan Al-Qiyas sebagai berikut:
حَمَلَ
مَعَلُوْ مُ عَلىَ مَعَلُوْمٍ فىِ تِ حُلَْمٍ لَهُماَ اَ وْ نَفْيٍ عَنْهُماَ بِاَ
مْرٍ جاَبَيْنَهُماَ
“
Memasukkan suatu yang dimaklumi (Far’) ke dalam hukum sesuatu yang dimaklumi
(asl) karena adanya ‘illah hukum yang mempersamakannya menurut pandangan
mujtahid”.
2.
Sadr Al-Syari’ah Ibn Mas’ud mendefinisikannya:
تَعْدِ يَهُ اْ
حُكْمِ مِنَ اْلاَصْلِ اِ لىَ اْ لغَرَ عْ بِعِلَةٍ مُحَّتِدَ ةٍلاَ تَعْرِ فُ
بُجَرَّ رٍ فَهُمُ اللَّغَةُ
“
Mengenakan hukum pada asl kepada Far’ karena adanya ‘illah yang
mempersekutukannya yang tidak bisa diketahui melalui pendekatan literal
semata”.
D.
Pandangan
Ulama Tentang Ijtihad
Ijtihad secara etimologi adalah,
diambil dari akar kata dalam bahasa arab jahada (جَهَدَ) bentuk kata masdarnya
ada dua bentuk yang berbeda artinya: Jahdun (جَهْدٌ) dengan arti kesungguhan
atau sepenuh hati atau serius, contohnya dapat kita temukan dalam surat
al-an’am (6):109.
وَ أَقْسَمُوا
بِاللهِ جَهْدَ أَيْمنِهِمْ لَئِنْ جَائَتْهُمْ ءَايَةٌ لَيُؤْمِنُنَّ بِهاَ
Mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika
datang kepada mereka sesuatu mujizat, Pastilah mereka beriman kepada-Nya.
Juhdun (جُهْدٌ) dengan arti kesanggupan
atau kemampuan yang di dalamnya terkandung arti sulit, berat dan susah.
Contohnya firman Allah dalam surat at-Taubah (9):79,
وَ الَّذِيْنَ
لاَ يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللهُ مِنْهُمْ وَ
لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْم
Dan
orang-orang yang tidak memperoleh selain sekedar kesanggupannya, maka orang
munafik itu menghina mereka.
Definisi yang Ijtihad yang
dikemukakan al-Syaukani ini kelihatan dekat dengan definisi-definisi
yang dikemukakan oleh ulama para ushul fiqh pada umumnya, yang pada
pokoknya melihat bahwa ijtihad adalah upaya optimal ahli fikih dalam
menemukan hukum syara’ yang bersifat zanni. Diantara definisi yang
dikemukakan oleh para ulama’ ushul fiqh itu ialah yang dikemukakan oleh
al-Ghazali dari kalangan ulama’ syafi’iyah yang mengartikan ijtihad
dengan:
“Pengerahan
kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan tentang
hukum-hukum syari’at”.
Rumusan yang lebih dekat lagi
dikemukakan oleh al-Amidi, juga dari ulama’ syafi’iyah yang berbunyi:
”Mencurahkan
kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang bersifat zanni sehingga
dirinya tidak mampu lagi mengupayakan yang lebih dari itu.”
Ijtihad adalah sebuah media yang
ditempuh oleh seorang ilmuan untuk “menengok” kehendak Allah Swt. yang
termaktub dalam kitab suci dan dalam tradisi (sunnah) Nabi Saw. Tidak ada
seorang pun yang diberi kewenangan oleh Tuhan dan memiliki “hak prerogratif” sebagai
pelaksana tugas itu secara khusus.
Semua menjadi tugas bersama untuk
melakukan, yang mengharuskan hanyalah
rengkuhan ahlak mulia saat berniat, melakukan, dan
melaksanakan ijtihad sehingga hasil ijtihad tetap berada dalam bingkai
pertanggung-jawaban vertikal kepada Tuhan sebagai aplikasi dari tugas
manusia sebagai Abdullah, hamba Allah dan tanggung-jawab horizontal
sebagai khalifah Allah fi al-ardl, atau pemakmur bumi Allah.
Apabila tidak berujung pada
penghambaan kepada Allah dan tidak memberikan kontribusi untuk kemakmuran
di muka bumi maka ijtihad seperti ini telah tercabut dari tujuannya dan
bertentangan dengan kedudukan manusia.
Dapat dipahami bahwa ijtihad
merupakan proses penggalian hukum Islam yang dilakukan oleh seorang fakih
dengan suatu upaya yang bersifat maksimal yang digali dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Istilah ijtihad dalam periode awal dipergunakan dengan pengertian
yang lebih sempit dan lebih spesifik daripada yang kemudian digunakan pada masa
al-Syafi’i dan di masa sesudahnya.
Istilah tersebut mengandung arti
pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli. Sebagai contoh,
ada satu riwayat mengenai Umar bin Khattab bahwa pada suatu hari pada bulan
Ramadlan, ia mengumumkan tibanya saat berbuka ketika matahari tampaknya telah
terbenam.
Setelah beberapa saat, ia diberitahu
orang bahwa matahari terlihat kembali di ufuk Barat (karena sebenarnya belum
terbenam). Atas hal ini dikabarkan ia menyatakan: “Bukan soal yang gawat, kami
sudah berijtihad.” (qad ijtahadna).[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sunnah
ialah hal–hal yang datang dari Rasulullah. baik berupa ucapan, perbuatan maupun
taqrir (persetujuan). sehingga dengan demikian maka assunnah itu pertama bisa
berupa; as-sunnah al–qauliyah (ucapan) adalah hadis–hadis Rasulullah yang
berupa ucapan di dalam berbagai tujuan dan permasalahan. kedua berupa as-sunnah
al fi’liyah (perbuatan), yaitu perbuatan Rasulullah SAW.
Ijma’
menurut para ahli ushul fiqh
adalah kesepakatan para mujtahid di kalangan ummat islam pada suatu masa
setelah Rasulullah saw. Wafat atas hokum syara’ mengenai suatu kajadian.
Qiyas
secara etimologi berarti mengukur suatu atas sesuatu yang lain, dan kemudian
menyamakan antara keduanya. Menurut ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah
mempersamakan suatu hukum, suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum
sesuatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran ada persamaan illat hukumnya
dari kedua peristiwa.
Dan
Ijtihad adalah ijtihad adalah upaya optimal ahli fikih dalam menemukan hukum
syara’ yang bersifat zanni. Diantara definisi yang dikemukakan oleh para
ulama’ ushul fiqh itu ialah yang dikemukakan oleh al-Ghazali dari kalangan
ulama’ syafi’iyah yang mengartikan ijtihad dengan:
“Pengerahan kemampuan secara
maksimal untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum
syari’at”.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam: (Ilmu Ushulul Fiqh); Penerjemah, Noer Iskandar al-Barsany, Moh. Tolchah Mansoer, 2000,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Chairul Uman, dkk, Ushul Fiqih 1,
1998, Bandung: Pustaka Setia.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, 2012, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro.
Prof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul
Fiqih, 2002, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dr. Rachmat Syafi’i, M. A., Ilmu
Ushul Fiqih, 1999, Bandung: CV. Pustaka Setia.
[1] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam: (Ilmu Ushulul Fiqh); Penerjemah, Noer Iskandar al-Barsany, Moh. Tolchah Mansoer,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000). Hal 87
[2] Ibid. Hal 89
[3] Chairul Uman, dkk, Ushul Fiqih
1, (Bandung: Pustaka Setia, 1998). Hal 176
[4] Chairul Uman, dkk, Ushul Fiqih
1, (Bandung: Pustaka Setia, 1998). Hlm 73
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2012). Hlm 237
[6] Prof.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). Hlm.
308
[7] Dr. Rachmat
Syafi’i, M. A., Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999).
Hal 265
[8] Prof. Muhammad Abu Zahrah. Hal 205
Tidak ada komentar:
Posting Komentar