Sebuah Basah; Basi!
Kejadian sering menjadi
rahasia manusia—ia tak sanggup menghadirkan praduganya atas kenyataan yang tak
sesuai dengan kehendaknya. Berulang-ulang manusia mengutuk Tuhan sebagai dalang
keadaan faktual. Ini suatu emosi di luar kendali; yang tak pantas dan tak patut
sama sekali. Bukankah ketentuan Tuhan musti lebih baik dibanding ketentuan buatan
manusia. Bahkan manuskrip yang tersimpan sekalipun, adalah skenario Tuhan yang
melibatkan usaha manusia terdidik!.
Manusia seringkali
menuhankan dirinya dalam ketidaksadarannya. Kenyataan yang dianggap fitrah, tak
jarang menyalahi kode etik penghambaan manusia atas Tuhannya. Ini tentang
perasaan yang juga tak dirasakan. Ia berani mengklaim rasanya adalah manifesto
rasa-Nya dengan tepat—hingga ia menyatakannya sebagai sesuatu yang suci.
Padahal, takdir jauh lebih suci dari tafsir pikir manusia yang alami.
Termasuk keadaanku
denganmu!. Berkali-kali, berulang-ulang adalah imaji sebuah badai yang
menerjang. Kerap kita terguling dengan keadaan sengsara, meki kita sanggup
bangkit dengan sangat sakit. Kadang tangisan adalah jeritan paling tak tega aku
dengarkan dari kesimpulan dialog angin dan bintang-bintang. Maka, rasimu
menyampaikan rindumu—karena ia mungkin tak tega melihatku denganmu yang saling
merindu.
Sedalam apapun kajian
kebahasaan; etimologi dan epistimologi tak akan pernah mampu mengisyaratkan
rasa ini. Sulit dan tak bisa diwakili dengan peribahasa apapun. Pelangi bahkan
merunduk ingin meneladaninya—tapi orang-orang berkata “jangan kau lanjutkan
jika tak mau sengsara”. Bukankah NKRI adalah perwujudan kesengsaraan yang
paling nampak. Tapi, orang-orang sepakat untuk sengsara. Aku pun ingin sengsara
seperti KH. Abdullah Sajjad...
Empirisme kita sering
menimbulkan beberapa sangkaan; entah dengan dimensi positif atau negative.
Namun, romantism yang tak sengaja kita buat adalah teladan roman banyak orang
yang justru sengaja dibuat. Tak masuk akal bukan!, ini adalah kalimat
terjemahan dari “kita saling menjamin rasa melalui ketulusan”. Karena
peraduannya tak lain adalah sepertiga malam. Tengadah kita, hal yang kita pinta
adalah cinta yang tak memaksa.
Maka jangan bersedih
sayang, karena kita telah berusaha bahagia dengan kebahagiaan tertinggi dari
Tuhan. Bahkan kita telah berani memegang konsep, yang penting kita tetap tersenyum
dalam keadaan apapun. Dan aku memintamu mendakwahkan ideology sederhana yang
terbuat secara alami dari hubungan kita. Karena diriku yang tak sengaja
melemparkan benih-benih itu, dirimu terlalu baik dan bersedia untuk membantuku
merawatnya!.
Meski kini sedang dalam
ujian narasi patuh pada orangtua, semoga dirimu tetap etis melanjutkan
langkahmu dengan hari-harimu. Aku yakin kau mampu, karena dirimu adalah
perempuan tangguh, yang selalu teguh dan meneguhkan diriku. Sabarlah, karena
dengannya ilalang akan mampu kita singkap—dan kita akan menemukan makna cinta
yang sesungguhnya.
Sayang, selamat malam.
Karena aku hanya ingin
menyapamu.
Aku mau dirimu adalah
dirimu sendiri.
Eh lupa, senyum dulu
donk…