Selasa, 21 Maret 2017

I"lusi"



Sebuah Basah; Basi!
            Kejadian sering menjadi rahasia manusia—ia tak sanggup menghadirkan praduganya atas kenyataan yang tak sesuai dengan kehendaknya. Berulang-ulang manusia mengutuk Tuhan sebagai dalang keadaan faktual. Ini suatu emosi di luar kendali; yang tak pantas dan tak patut sama sekali. Bukankah ketentuan Tuhan musti lebih baik dibanding ketentuan buatan manusia. Bahkan manuskrip yang tersimpan sekalipun, adalah skenario Tuhan yang melibatkan usaha manusia terdidik!.
            Manusia seringkali menuhankan dirinya dalam ketidaksadarannya. Kenyataan yang dianggap fitrah, tak jarang menyalahi kode etik penghambaan manusia atas Tuhannya. Ini tentang perasaan yang juga tak dirasakan. Ia berani mengklaim rasanya adalah manifesto rasa-Nya dengan tepat—hingga ia menyatakannya sebagai sesuatu yang suci. Padahal, takdir jauh lebih suci dari tafsir pikir manusia yang alami.
            Termasuk keadaanku denganmu!. Berkali-kali, berulang-ulang adalah imaji sebuah badai yang menerjang. Kerap kita terguling dengan keadaan sengsara, meki kita sanggup bangkit dengan sangat sakit. Kadang tangisan adalah jeritan paling tak tega aku dengarkan dari kesimpulan dialog angin dan bintang-bintang. Maka, rasimu menyampaikan rindumu—karena ia mungkin tak tega melihatku denganmu yang saling merindu.
            Sedalam apapun kajian kebahasaan; etimologi dan epistimologi tak akan pernah mampu mengisyaratkan rasa ini. Sulit dan tak bisa diwakili dengan peribahasa apapun. Pelangi bahkan merunduk ingin meneladaninya—tapi orang-orang berkata “jangan kau lanjutkan jika tak mau sengsara”. Bukankah NKRI adalah perwujudan kesengsaraan yang paling nampak. Tapi, orang-orang sepakat untuk sengsara. Aku pun ingin sengsara seperti KH. Abdullah Sajjad...
            Empirisme kita sering menimbulkan beberapa sangkaan; entah dengan dimensi positif atau negative. Namun, romantism yang tak sengaja kita buat adalah teladan roman banyak orang yang justru sengaja dibuat. Tak masuk akal bukan!, ini adalah kalimat terjemahan dari “kita saling menjamin rasa melalui ketulusan”. Karena peraduannya tak lain adalah sepertiga malam. Tengadah kita, hal yang kita pinta adalah cinta yang tak memaksa.
            Maka jangan bersedih sayang, karena kita telah berusaha bahagia dengan kebahagiaan tertinggi dari Tuhan. Bahkan kita telah berani memegang konsep, yang penting kita tetap tersenyum dalam keadaan apapun. Dan aku memintamu mendakwahkan ideology sederhana yang terbuat secara alami dari hubungan kita. Karena diriku yang tak sengaja melemparkan benih-benih itu, dirimu terlalu baik dan bersedia untuk membantuku merawatnya!.
            Meski kini sedang dalam ujian narasi patuh pada orangtua, semoga dirimu tetap etis melanjutkan langkahmu dengan hari-harimu. Aku yakin kau mampu, karena dirimu adalah perempuan tangguh, yang selalu teguh dan meneguhkan diriku. Sabarlah, karena dengannya ilalang akan mampu kita singkap—dan kita akan menemukan makna cinta yang sesungguhnya.
            Sayang, selamat malam.
            Karena aku hanya ingin menyapamu.
            Aku mau dirimu adalah dirimu sendiri.
            Eh lupa, senyum dulu donk…

Sikap Baik

Berbuat baik; Jangan Menunggu Orang Lain!
Oase Didin si pemulung sampah yang gemar melakukan kebajikan
Oleh: Herman L*
            Di abad global ini,  kita dengan mudah dapat memanifestasikan nilai-nilai kebaikan—entah, Ia menyimpan orientasi ketulusan atau pengharapan (agar juga diperlakukan baik oleh orang lain) pada intinya “gampanglah” berbuat baik pada zaman ini. Namun sayangnya, banyak orang yang malah berbuat sebaliknya—bahkan ironinya alih-alih berbuat kebajikan, justru ia mengalihakan praduganya pada sangkaan yang tidak baik—husnudzan.
            Dalam satu kisah misalnya, sebutlah si Didin, pemuda miskin di daerah itu. ia tidak sekolah—aktifitas hariannya ia lalui dengan membantu orang tuanya menjadi pemulung sampah. Ia tidak pernah keberatan, meski teman sebayanya menghabiskan waktunya di bangku sekolah. Bagi Didin, manusia terdidik bukan melulu yang ada di sekolah, tapi manusia terdidik adalah ia yang mampu membaca apapun; baik yang bentuknya tulisan, keadaaan atau alam. Pada intinya, Didin menrjemahkan kata “terdidik” adalah ia yang berbuat baik untuk sesama.
            Hingga dalam suatu waktu, di saat perjalanan pulangnya. Didin menemukan seorang lelaki gagah sedang memukul-mukul ban mobilnya yang sedang kempes.
            “kenapa Pak?” Tanya Didin.
            “ini mas, ban mobil saya sedang kempes. Padahal saya harus datang tepat waktu, karena saya ada janji dengan Bapak Bupati jam ini” ucap Bapak itu.
            “baiklah pak, tunggu di sini dulu saya akan membawa ban mobil ini ke bengkel sekitar sini dulu” begitu ucap Didin setelah bersusah payah membantu Bapak itu membuka ban yang sedang kempes itu.
            Singkat cerita, Didinpun datang kembali setelah Bapak itu menungguinya. Dan Didin kembali membantu untuk memasangnya. Akhirnya mobil itu bisa kembali digunakan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum Bapak itu meninggalkan Didin, Ia sempat menyodorkan ongkos ganti kerja Didin, “ini mas sebagai ucapan terima kasih saya pada sampean karena telah membantu saya”. “tidak usahlah Pak, ini memang tanggung jawab saya sebagai manusia”. “sebaiknya uang ini diberikan kepada yang lebih membutuhkan daripada saya—dan jangan sampai kebaikan berakhir di Bapak” timpal Didin seraya tersenyum tulus.
            Pada saat melanjutkan perjalanan, Bapak itu mampir ke warung kecil di daerah yang tak jauh dari tempat tadi. “Kopi Buk”. “ia nak tunggu sebentar”, Ibu paruh baya itupun datang memberikan kopi kepada lelaki itu. Setelah badannya terasa segar kembali, lelaki itu melanjutkan perjalannya dengan meninggalkan secarik kertas dengan tumpukan beberapa juta uang di atas meja warung Ibu itu.
            Ibu, mohon maaf sebelumnya. Bukan saya menganggap ibu sebagai orang tak mampu. Tetapi saya kebingungan ketika tadi di jalan bertemu dengan lelaki yang tidak mau menerima uang ini sebagai ucapan terima kasih atas perbuatnnya baiknya. Sekaligus pemuda itu berpesan—agar kebaikannya tidak berhenti pada saya. Dan saya melanjutkan perbuatan baik ini untuk ibu. Semoga kebaikan ini juga tidak berhenti di Ibu. Dan akhirnya saya sampaikan terima kasih. Begitulah kira-kira isi pesan secarik kertas yang ditinggalkan pemuda itu, ibu itupun terharu membacanya. Kemudian ia teringat dengan anaknya yang tidak sekolah—yang “menghibahkan” dirinya untuk mencari uang demi kesembuhan Ibunya yang sedang mengidap penyakit kanker untuk operasi. “Nak Didin, bukankah Tuhan tidak membiarkan kita” begitulah gumam ibu itu sanbil berdiri.
            Kisah di atas hanya sekedar kisah dengan pesan yang sangat sederhana—berbuatlah baik kepada siapapun. Maka tak salah apa yang dikatakan oleh sang Bapak Bangsa, Gusdur. “jika kamu bisa berbuat baik, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu, sukumu, bahasamu etnismu, suku dan rasmu”. Namun kini, perbuatan baik seolah dipisah oleh aling-aling. Ketika orang kaya hanya berkomunikasi baik sesama kayanya—tanpa memikirkan bahwa kekayaan itu hanyalah titipan Tuhan.
            Perbedaan juga termasuk yang paling kerap dijadikan alasan oleh manusia modern tentang perbuatan baiknya. Ketika ada orang yang berbeda agama dengan kita misalnya!, kita sering mencurigai sebagai mata-mata. Sehingga kita acuh tak acuh dan mengabaikan adanya orang itu. Padahal kata Didin, manusia terdidik adalah manusia yang bisa berbuat baik kepada siapapun.
            Orang-orang kadang saling menyimpan tanya, untuk apa berbuat baik?, padahal hidup ini adalah kompetisi—siapa yang bisa, ia yang bahagia!. Demikian stigma pikir manusia modern saat ini. tak ubahnya hukum rimba, siapa yang menang dia yang berkuasa. Tetapi kehidupan manusia lebih dari kehidupan hewan—dengan hukum rimbanya itu. Kehidupan manusia adalah kebaikan, kemakmuran, keadilan sosial dan kedaiaman milik bersama. Bukan milik orang kaya, pemerintah dan buka milik siapa-siapa. Tetapi milik kita (manusia) bersama. Maka, apakah kalian masih bertanya untuk apa berbuat baik. Didin telah mengajari kalian, kebaikannya kembali lagi padanya—karena Tuhan tidak membiarkan kita!. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
                                                                       
kalian semua bisa berbuat baik kok!Prilaku Baik

Keringetan



Kucuran Keringat Barakah, Dengan Kucuran Keringat Serakah
Oleh : Herman L.
            Indonesia adalah negara yang bikin ngeri, kengerian itu terlihat pada saat kita jalan-jalan pagi. Pada saat itu kita akan bertemu dengan sebagian warga negara Indonesia yang harus jalan-jalan pagi dengan menggendong keranjang sampah untuk menampung harta yang ia ngais mulai sejak adzan subuh, ia mengumpulkan botol air mineral dengan rasa yang tidak canggung dan tidak mengenal kata gengsi. Mungkin saja itu memang karena tuntutan, sehingga ia melakukannya sama seperti halnya orang yang bekerja di suatu perusahaan yang intens setiap pagi. Tetapi barangkali ia lebih berharga daripada orang yang mengais harta rakyat dan bukan haknya, untuk keperluan pribadi.
            Negara ini secara garis besar sudah lebih tinggi gengsinya, daripada untuk sekedar melakukan hal yang baik. Seperti contoh, ia tidak mau menjadi seorang petani, karena ia menganggap seorang petani tidak memiliki wibawa, rendah, dan barangkali dengan anggapan yang menyesakkan dada adalah tidak punya kehormatan. Ia lebih suka menjadi seorang yang tamak, rakus, dan tidak memiliki rasa yang manusiawi, ia seperti Babi. Ironinya ia lebih suka menjadi orang yang seperti Babi itu, dan menganggap rendah orang yang menjadi petani. Padahal jika dibandingkan orang petani lebih berwibawa, daripada orang yang bermental Babi itu.
            Jika demikian secara tidak langsung Indonesia dibawah kendali Babi, karena banyak diantara pemimpin kita yang tidak sengaja atau sengaja telah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi. Hal ini bukan sesuatu yang diada-adakan melainkan bukti yang sudah menyatakan, bahwa banyak diantaranya yang tertangkap oleh KPK (komisi pemberantasan korupsi). Mengapa sedemikian menyeramkan negeri ini, kemudian ada pepatah yang kiranya khusus untuk negara ini, “yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin tidak ada”.
            Peraturan yang tidak berimbang, memaksa warga negara untuk hemat dan mengucurkan peluh kuning sekedar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, ada salah satu contoh yang barangkali bisa membuat orang yang membacanya menangis, apakah kita masih ingat dengan peristiwa yang diberitakan di media tentang seorang gadis yang duduk di kelas XII yang rela menjual Ginjalnya untuk mempertahankan kehidupan keluarganya. jika ingat, coba perhatikan langkah yang dilakukan pemerintah. Dan pertimbangkan sendiri apakah baik ataupun sebaliknya. Gadis itu bisa saja mencuri, dan melakukan apa saja secara paksa dan hal lainnya, tetapi ia menyikapinya dengan dingin sehingga ia tidak bersifat seperti seekor Babi.
                        Karya Lama.

           
keringat barakah

Minggu, 12 Maret 2017

Nikah dini

Romantisme; Cinta dan Patuh
Menelaah ritus sosial nikah muda perspektif Maduraa
Oleh: Herman L
            Isu bobroknya moral kian menjamur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Beberapa media—bahkan semua media; baik cetak maupun massa. Skala nasional apalagi, seakan menjadi pengetahuan kolektif tentang ‘erosi’ akhlak yang dijamah keadaan menjadi tidak etis. Berita ini banyak meforsir waktu untuk mempengaruhi mental dan karakter secara univers suatu negara. Suatu persoalan yang mengkhawtirkan!.
            Menuakan diri, begitulah kita melihat pemuda hidup zaman ini—hal ini dibuktikan prilaku dewasa yang dialih fungsikan di saat waktu yang tidak tepat dan bukan waktunya. Inilah kebobrokan yang dimaksud, yakni kejanggalan amoral yang kian hari seperti sesuatu yang biasa dan tanpa masalah. Padahal, ini adalah masalah besar—romantisme modern yang sifatnya radikal dan liberal. Bukan lagi soal norma, nilai-nilai dan kesalehan sosial.
            Dalam kesepakatan yang tidak direncanakan, Madura begitu sentimen memandang roman ini. Kehati-hatian melindungi pemuda-pemudi diakulturasikan dengan koridor agama. Begitupun kita memahami masyarakat madura sebagai penganut agama monoteis yang patuh—meski sebagian tidak secara kaffah.
            Persoalan romantisme; sering dijadikan alasan dari sebagian banyak masyarakat madura untuk menjawab atas tantangan di atas. Ketika diterjemahkan dalam bahasa ke-zuhud-an, masyarakat madura menilai pernikahan adalah jawaban solutif atas hal itu. Maka, bukan lagi sesuatu yang baru; tatkala kita melihat kejadian itu terjadi berulang-ulang. Meski sebagian ada yang menolaknya, tetapi ia tidak cukup punya alasan yang kuat. Karena ini didasarkan pada pilihan anak muda yang menuakan dirinya sendiri. Padahal seperti ibu pada umumnya, “waktumu adalah belajar, nak”. Pengejawantahan pesan sederhana ini, sering keliru dan sengaja diterapkan salah oleh beberapa anak muda—secara umum.
            Menjadi sesuatu yang pasti, setiap orangtua ingin mentakdirkan anaknya menjadi orang baik yang terbaik. Bahkan suatu kebanggan inter-personal bagi keluarga jika seorang anak menjadi jawaban atas masalah—alih-alih memperkeruh masalah. Pilihan menikahkan hanyalah opsi terbatas yang dimiliki oleh orangtua secara global di Madura, hal ini tak perlu ditampik karena itu adalah keterbatasan kualitas edukatif yang dimiliki oleh setiap orang tua. Tetapi, kadang pula opsi terbatas itu menjadi pilihan yang berkualitas atas situasi yang penuh masalah itu.
            Tetapi yang perlu diperhatikan, orangtua secara umum telah menuntun anaknya di jalan akademik yang terpelajar. Hanya saja seorang anak telah mengacuhkan perintah wajib itu. Orangtua di Madura secara umum memang tak punya kesempatan untuk mengkaji dan mengaji kitab ta’lim al-muta’lim, yang di dilamnya terdapat beberapa perintah menuntut ilmu untuk segera di internalisasikan. Namun mereka sadar betul bahwa pendidikan itu penting. “nak, semoga kamu punya takdir yang lebih baik dari kami” begitulah ucapan spontan Bapak yang disangonkan kepada kita—agar menyerahkan sepenuhnya untuk belajar.
            Maka dalam banyak kesempatan yang telah diberikan kepada anak, cenderung hanya difungsikan pada pengingkaran atas perintah dan pesan-pesan yang telah disampaikan oleh orangtua. Buktinya, mereka lebih dahulu mengunggulkan asmara atas imperium kewajiban edukatif  yang mestinya lebih didahulukan. Maka, berdasarkan inilah orangtua mengambil kesimpulan—“sepertinya kau sudah sepatutnya menikah saja, nak”. Nah, kesimpulan ini bukan kesalahan orang tua, tetapi hanya anak egoislah yang menutup diri untuk menyalahkan orangtuanya.
            Kesimpulan ini pula yang akan mengungkap, sejauh mana kita berwacana tentang mencintai orangtua dapat tampak realis. Seperti dalam mengistilahkan cinta persepsi anak muda, ia yang berani mencintai berarti siap mengabdikan dirinya (patuh) untuk yang dicintainya. Jika ia tidak patuh, maka ia bukan dan tidak cinta. Artinya, ketika ada perintah akademik orangtua untuk anaknya, sudah sepantasnya anak untuk mengejawantahkannya. Ingkar, berarti ia tidak mencintai orangtuanya. Padahal, perintah itu untuk dirinya sendiri. Begitupun jika orang tua sudah memerintahkan untuk menikah.
            Ada beberapa orang menilai—alternatif solutif demikian adalah memarjinalkan anak; sepertinya anak digdaya oleh kuasa orangtua dalam keluarga, dan sepertinya anak tak punya hak atas dirinya sendiri. Ini tafsir kondisional dalam konteks ke-Madura-an. Kita dapati perwujudan dengan memandang langsung dinamika faktual yang terjadi di masyarakat. Bahwa jalan pertama yang ditunjukkan orangtua pada anak adalah tetap pada tugasnya, yaitu menuntut pengetahuan. Tapi anak lebih terburu-buru untuk memikirkan perjodohan; bahkan ia melegalkan sendiri hubungannya. Ketika dimintai menikah saja, ia tidak mau. Dalam jawaban logika—ini adalah kejanggalan kebijakan akal.
            Maka sesuatu yang menjadi tanggung jawab, sudah semestinya untuk dilakukan. Dan tidak semestinya mencari tanggung jawab yang lain. Perintah untuk belajar ilmu pengetahuan akan salah arah ketika dimaknai mengejar jodoh atau pernikahan. Sekali lagi, ini soal romantisme madura dengan kelangkaan instrumen patuh dan cintanya pada orangtua. Kita memang punya pilihan, orangtua juga demikian. Tetapi pilihan terbaik adalah yang dimusyawarahkan dan diistikharahkan pada Tuhan. Yakinlah, hasilnya adalah yang terbaik dan membahagiakan kehidupan.
            “Sudahlah, nak. Itu belakangan. Kamu belajar dulu!”
Wallahu a’lam


Sekedar basah-basi!

Resah

Apa yang sedang terjadi?
            Hanya bisa khawatir, demikian yang saya bisa lakukan atas berita atau kabar tentang masalah ini. Dalam doa, saya menuntut Tuhan dengan egois “semoga ada jalan terbaik”. Namun entahlah, jalan terbaik itu sesuai dengan kehendakku—alih-alih sesuai dengan kehendak-Nya. Hanya Tuhan yang tahu jalan selanjutnya.
            Jika ini kaitannya dengan salahku, maka berkenanlah dirimu memaafkanku. Mungkin ada kejenakaan yang keterlaluan atas sifatku yang telah aku lakukan tanpa sengaja. Aku telah berusaha menjadi yang terbaik, dan sama sekali tidak terpikirkan untuk berpura-pura baik. namun beginilah seperti yang telah kukatakan—aku manusia naïf yang berusaha memperbaiki diri. Aku mengutuk diriku karena aku tak mampu berbuat terbaik seperti yang kau inginkan.
            Sejauh ini, aku telah menutup diriku dari makhluk sejenismu. Dan aku lumpuh jika ada manusia sejenismu yang merencanakan fitnahnya untuk mengganggu hubungan kita. Aku kemudian lupa meneladani orang bijak untuk bersikap, jika hal ini yang benar-benar terjadi. Semoga saja tidak !. Aku bukan sekelas Einstein yang sudah matang konsep dan materi. Tapi Einstein pun kebingungan ketika ada masalah dalam romantisme dengan perempuannya. Aku terlalu dangkal segalanya—maka hanya maaf yang bisa kusampaikan jika ada masalah dengan sikapku.
            Aku sudah memantapkan keyakinan atas cintamu kepadaku—dan aku berusaha menjaganya dengan baik. Meski yang terjadi justru adalah masalah yang membuatku khawatir. Mengkhawatirkan mengganggu prosesmu belajar, aku sangat tidak menginginkan hal ini. Maka, aku hanya bisa mendengarkan larik lagu kesukaanmu saat diriku sedang merindukanmu—karena hanya begini cara menenangkan tidurku. Aku menyukai ritual ini, tak boleh ada yang menggangguku saat menjalaninya, karena aku sedang merindukanmu.
            Baik-baik sayang, ada aku untukmu.
            Maafkan atas kesalahan diriku,
Meski piring yang pecah tak akan kembali utuh hanya karena ucapan maaf. Tetapi semoga kau tidak terluka karena pecahan piring itu. Aku akan selalu berusaha untuk memperbaikinya. Maukah dirimu memaafkan kesalahanku?

#akusudahpasrah—pada-Mu, padamu!


                        

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...