Minggu, 12 Maret 2017

Nikah dini

Romantisme; Cinta dan Patuh
Menelaah ritus sosial nikah muda perspektif Maduraa
Oleh: Herman L
            Isu bobroknya moral kian menjamur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Beberapa media—bahkan semua media; baik cetak maupun massa. Skala nasional apalagi, seakan menjadi pengetahuan kolektif tentang ‘erosi’ akhlak yang dijamah keadaan menjadi tidak etis. Berita ini banyak meforsir waktu untuk mempengaruhi mental dan karakter secara univers suatu negara. Suatu persoalan yang mengkhawtirkan!.
            Menuakan diri, begitulah kita melihat pemuda hidup zaman ini—hal ini dibuktikan prilaku dewasa yang dialih fungsikan di saat waktu yang tidak tepat dan bukan waktunya. Inilah kebobrokan yang dimaksud, yakni kejanggalan amoral yang kian hari seperti sesuatu yang biasa dan tanpa masalah. Padahal, ini adalah masalah besar—romantisme modern yang sifatnya radikal dan liberal. Bukan lagi soal norma, nilai-nilai dan kesalehan sosial.
            Dalam kesepakatan yang tidak direncanakan, Madura begitu sentimen memandang roman ini. Kehati-hatian melindungi pemuda-pemudi diakulturasikan dengan koridor agama. Begitupun kita memahami masyarakat madura sebagai penganut agama monoteis yang patuh—meski sebagian tidak secara kaffah.
            Persoalan romantisme; sering dijadikan alasan dari sebagian banyak masyarakat madura untuk menjawab atas tantangan di atas. Ketika diterjemahkan dalam bahasa ke-zuhud-an, masyarakat madura menilai pernikahan adalah jawaban solutif atas hal itu. Maka, bukan lagi sesuatu yang baru; tatkala kita melihat kejadian itu terjadi berulang-ulang. Meski sebagian ada yang menolaknya, tetapi ia tidak cukup punya alasan yang kuat. Karena ini didasarkan pada pilihan anak muda yang menuakan dirinya sendiri. Padahal seperti ibu pada umumnya, “waktumu adalah belajar, nak”. Pengejawantahan pesan sederhana ini, sering keliru dan sengaja diterapkan salah oleh beberapa anak muda—secara umum.
            Menjadi sesuatu yang pasti, setiap orangtua ingin mentakdirkan anaknya menjadi orang baik yang terbaik. Bahkan suatu kebanggan inter-personal bagi keluarga jika seorang anak menjadi jawaban atas masalah—alih-alih memperkeruh masalah. Pilihan menikahkan hanyalah opsi terbatas yang dimiliki oleh orangtua secara global di Madura, hal ini tak perlu ditampik karena itu adalah keterbatasan kualitas edukatif yang dimiliki oleh setiap orang tua. Tetapi, kadang pula opsi terbatas itu menjadi pilihan yang berkualitas atas situasi yang penuh masalah itu.
            Tetapi yang perlu diperhatikan, orangtua secara umum telah menuntun anaknya di jalan akademik yang terpelajar. Hanya saja seorang anak telah mengacuhkan perintah wajib itu. Orangtua di Madura secara umum memang tak punya kesempatan untuk mengkaji dan mengaji kitab ta’lim al-muta’lim, yang di dilamnya terdapat beberapa perintah menuntut ilmu untuk segera di internalisasikan. Namun mereka sadar betul bahwa pendidikan itu penting. “nak, semoga kamu punya takdir yang lebih baik dari kami” begitulah ucapan spontan Bapak yang disangonkan kepada kita—agar menyerahkan sepenuhnya untuk belajar.
            Maka dalam banyak kesempatan yang telah diberikan kepada anak, cenderung hanya difungsikan pada pengingkaran atas perintah dan pesan-pesan yang telah disampaikan oleh orangtua. Buktinya, mereka lebih dahulu mengunggulkan asmara atas imperium kewajiban edukatif  yang mestinya lebih didahulukan. Maka, berdasarkan inilah orangtua mengambil kesimpulan—“sepertinya kau sudah sepatutnya menikah saja, nak”. Nah, kesimpulan ini bukan kesalahan orang tua, tetapi hanya anak egoislah yang menutup diri untuk menyalahkan orangtuanya.
            Kesimpulan ini pula yang akan mengungkap, sejauh mana kita berwacana tentang mencintai orangtua dapat tampak realis. Seperti dalam mengistilahkan cinta persepsi anak muda, ia yang berani mencintai berarti siap mengabdikan dirinya (patuh) untuk yang dicintainya. Jika ia tidak patuh, maka ia bukan dan tidak cinta. Artinya, ketika ada perintah akademik orangtua untuk anaknya, sudah sepantasnya anak untuk mengejawantahkannya. Ingkar, berarti ia tidak mencintai orangtuanya. Padahal, perintah itu untuk dirinya sendiri. Begitupun jika orang tua sudah memerintahkan untuk menikah.
            Ada beberapa orang menilai—alternatif solutif demikian adalah memarjinalkan anak; sepertinya anak digdaya oleh kuasa orangtua dalam keluarga, dan sepertinya anak tak punya hak atas dirinya sendiri. Ini tafsir kondisional dalam konteks ke-Madura-an. Kita dapati perwujudan dengan memandang langsung dinamika faktual yang terjadi di masyarakat. Bahwa jalan pertama yang ditunjukkan orangtua pada anak adalah tetap pada tugasnya, yaitu menuntut pengetahuan. Tapi anak lebih terburu-buru untuk memikirkan perjodohan; bahkan ia melegalkan sendiri hubungannya. Ketika dimintai menikah saja, ia tidak mau. Dalam jawaban logika—ini adalah kejanggalan kebijakan akal.
            Maka sesuatu yang menjadi tanggung jawab, sudah semestinya untuk dilakukan. Dan tidak semestinya mencari tanggung jawab yang lain. Perintah untuk belajar ilmu pengetahuan akan salah arah ketika dimaknai mengejar jodoh atau pernikahan. Sekali lagi, ini soal romantisme madura dengan kelangkaan instrumen patuh dan cintanya pada orangtua. Kita memang punya pilihan, orangtua juga demikian. Tetapi pilihan terbaik adalah yang dimusyawarahkan dan diistikharahkan pada Tuhan. Yakinlah, hasilnya adalah yang terbaik dan membahagiakan kehidupan.
            “Sudahlah, nak. Itu belakangan. Kamu belajar dulu!”
Wallahu a’lam


Sekedar basah-basi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...