Romantisme; Cinta dan Patuh
Menelaah ritus sosial nikah muda perspektif Maduraa
Oleh: Herman L
Isu bobroknya moral kian menjamur
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Beberapa media—bahkan semua media;
baik cetak maupun massa. Skala nasional apalagi, seakan menjadi pengetahuan
kolektif tentang ‘erosi’ akhlak yang dijamah keadaan menjadi tidak etis. Berita
ini banyak meforsir waktu untuk mempengaruhi mental dan karakter secara univers
suatu negara. Suatu persoalan yang mengkhawtirkan!.
Menuakan diri, begitulah kita
melihat pemuda hidup zaman ini—hal ini dibuktikan prilaku dewasa yang dialih
fungsikan di saat waktu yang tidak tepat dan bukan waktunya. Inilah kebobrokan yang
dimaksud, yakni kejanggalan amoral yang kian hari seperti sesuatu yang biasa
dan tanpa masalah. Padahal, ini adalah masalah besar—romantisme modern yang
sifatnya radikal dan liberal. Bukan lagi soal norma, nilai-nilai dan kesalehan
sosial.
Dalam kesepakatan yang tidak
direncanakan, Madura begitu sentimen memandang roman ini. Kehati-hatian
melindungi pemuda-pemudi diakulturasikan dengan koridor agama. Begitupun kita
memahami masyarakat madura sebagai penganut agama monoteis yang patuh—meski
sebagian tidak secara kaffah.
Persoalan romantisme; sering
dijadikan alasan dari sebagian banyak masyarakat madura untuk menjawab atas
tantangan di atas. Ketika diterjemahkan dalam bahasa ke-zuhud-an, masyarakat
madura menilai pernikahan adalah jawaban solutif atas hal itu. Maka, bukan lagi
sesuatu yang baru; tatkala kita melihat kejadian itu terjadi berulang-ulang.
Meski sebagian ada yang menolaknya, tetapi ia tidak cukup punya alasan yang
kuat. Karena ini didasarkan pada pilihan anak muda yang menuakan dirinya sendiri.
Padahal seperti ibu pada umumnya, “waktumu adalah belajar, nak”.
Pengejawantahan pesan sederhana ini, sering keliru dan sengaja diterapkan salah
oleh beberapa anak muda—secara umum.
Menjadi sesuatu yang pasti, setiap
orangtua ingin mentakdirkan anaknya menjadi orang baik yang terbaik. Bahkan
suatu kebanggan inter-personal bagi keluarga jika seorang anak menjadi jawaban
atas masalah—alih-alih memperkeruh masalah. Pilihan menikahkan hanyalah opsi
terbatas yang dimiliki oleh orangtua secara global di Madura, hal ini tak perlu
ditampik karena itu adalah keterbatasan kualitas edukatif yang dimiliki oleh
setiap orang tua. Tetapi, kadang pula opsi terbatas itu menjadi pilihan yang
berkualitas atas situasi yang penuh masalah itu.
Tetapi yang perlu diperhatikan,
orangtua secara umum telah menuntun anaknya di jalan akademik yang terpelajar.
Hanya saja seorang anak telah mengacuhkan perintah wajib itu. Orangtua di
Madura secara umum memang tak punya kesempatan untuk mengkaji dan mengaji kitab
ta’lim al-muta’lim, yang di dilamnya terdapat beberapa perintah menuntut
ilmu untuk segera di internalisasikan. Namun mereka sadar betul bahwa
pendidikan itu penting. “nak, semoga kamu punya takdir yang lebih baik dari
kami” begitulah ucapan spontan Bapak yang disangonkan kepada kita—agar
menyerahkan sepenuhnya untuk belajar.
Maka dalam banyak kesempatan yang
telah diberikan kepada anak, cenderung hanya difungsikan pada pengingkaran atas
perintah dan pesan-pesan yang telah disampaikan oleh orangtua. Buktinya, mereka
lebih dahulu mengunggulkan asmara atas imperium kewajiban edukatif yang mestinya lebih didahulukan. Maka,
berdasarkan inilah orangtua mengambil kesimpulan—“sepertinya kau sudah
sepatutnya menikah saja, nak”. Nah, kesimpulan ini bukan kesalahan orang tua,
tetapi hanya anak egoislah yang menutup diri untuk menyalahkan orangtuanya.
Kesimpulan ini pula yang akan
mengungkap, sejauh mana kita berwacana tentang mencintai orangtua dapat tampak
realis. Seperti dalam mengistilahkan cinta persepsi anak muda, ia yang berani mencintai
berarti siap mengabdikan dirinya (patuh) untuk yang dicintainya. Jika ia tidak
patuh, maka ia bukan dan tidak cinta. Artinya, ketika ada perintah akademik
orangtua untuk anaknya, sudah sepantasnya anak untuk mengejawantahkannya.
Ingkar, berarti ia tidak mencintai orangtuanya. Padahal, perintah itu untuk
dirinya sendiri. Begitupun jika orang tua sudah memerintahkan untuk menikah.
Ada beberapa orang
menilai—alternatif solutif demikian adalah memarjinalkan anak; sepertinya anak
digdaya oleh kuasa orangtua dalam keluarga, dan sepertinya anak tak punya hak
atas dirinya sendiri. Ini tafsir kondisional dalam konteks ke-Madura-an. Kita
dapati perwujudan dengan memandang langsung dinamika faktual yang terjadi di
masyarakat. Bahwa jalan pertama yang ditunjukkan orangtua pada anak adalah
tetap pada tugasnya, yaitu menuntut pengetahuan. Tapi anak lebih terburu-buru
untuk memikirkan perjodohan; bahkan ia melegalkan sendiri hubungannya. Ketika
dimintai menikah saja, ia tidak mau. Dalam jawaban logika—ini adalah
kejanggalan kebijakan akal.
Maka sesuatu yang menjadi tanggung
jawab, sudah semestinya untuk dilakukan. Dan tidak semestinya mencari tanggung
jawab yang lain. Perintah untuk belajar ilmu pengetahuan akan salah arah ketika
dimaknai mengejar jodoh atau pernikahan. Sekali lagi, ini soal romantisme
madura dengan kelangkaan instrumen patuh dan cintanya pada orangtua. Kita
memang punya pilihan, orangtua juga demikian. Tetapi pilihan terbaik adalah
yang dimusyawarahkan dan diistikharahkan pada Tuhan. Yakinlah, hasilnya adalah
yang terbaik dan membahagiakan kehidupan.
“Sudahlah, nak. Itu belakangan. Kamu
belajar dulu!”
Wallahu a’lam
Sekedar basah-basi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar