Berbuat baik; Jangan Menunggu Orang Lain!
Oase Didin si
pemulung sampah yang gemar melakukan kebajikan
Oleh: Herman L*
Di abad
global ini, kita dengan mudah dapat
memanifestasikan nilai-nilai kebaikan—entah, Ia menyimpan orientasi ketulusan
atau pengharapan (agar juga diperlakukan baik oleh orang lain) pada intinya
“gampanglah” berbuat baik pada zaman ini. Namun sayangnya, banyak orang yang
malah berbuat sebaliknya—bahkan ironinya alih-alih berbuat kebajikan, justru ia
mengalihakan praduganya pada sangkaan yang tidak baik—husnudzan.
Dalam
satu kisah misalnya, sebutlah si Didin, pemuda miskin di daerah itu. ia tidak
sekolah—aktifitas hariannya ia lalui dengan membantu orang tuanya menjadi
pemulung sampah. Ia tidak pernah keberatan, meski teman sebayanya menghabiskan
waktunya di bangku sekolah. Bagi Didin, manusia terdidik bukan melulu yang ada
di sekolah, tapi manusia terdidik adalah ia yang mampu membaca apapun; baik
yang bentuknya tulisan, keadaaan atau alam. Pada intinya, Didin menrjemahkan
kata “terdidik” adalah ia yang berbuat baik untuk sesama.
Hingga
dalam suatu waktu, di saat perjalanan pulangnya. Didin menemukan seorang lelaki
gagah sedang memukul-mukul ban mobilnya yang sedang kempes.
“kenapa
Pak?” Tanya Didin.
“ini
mas, ban mobil saya sedang kempes. Padahal saya harus datang tepat waktu,
karena saya ada janji dengan Bapak Bupati jam ini” ucap Bapak itu.
“baiklah
pak, tunggu di sini dulu saya akan membawa ban mobil ini ke bengkel sekitar
sini dulu” begitu ucap Didin setelah bersusah payah membantu Bapak itu membuka
ban yang sedang kempes itu.
Singkat
cerita, Didinpun datang kembali setelah Bapak itu menungguinya. Dan Didin kembali
membantu untuk memasangnya. Akhirnya mobil itu bisa kembali digunakan untuk
melanjutkan perjalanan. Sebelum Bapak itu meninggalkan Didin, Ia sempat
menyodorkan ongkos ganti kerja Didin, “ini mas sebagai ucapan terima kasih saya
pada sampean karena telah membantu saya”. “tidak usahlah Pak, ini memang
tanggung jawab saya sebagai manusia”. “sebaiknya uang ini diberikan kepada yang
lebih membutuhkan daripada saya—dan jangan sampai kebaikan berakhir di Bapak”
timpal Didin seraya tersenyum tulus.
Pada
saat melanjutkan perjalanan, Bapak itu mampir ke warung kecil di daerah yang
tak jauh dari tempat tadi. “Kopi Buk”. “ia nak tunggu sebentar”, Ibu paruh baya
itupun datang memberikan kopi kepada lelaki itu. Setelah badannya terasa segar
kembali, lelaki itu melanjutkan perjalannya dengan meninggalkan secarik kertas
dengan tumpukan beberapa juta uang di atas meja warung Ibu itu.
Ibu, mohon maaf
sebelumnya. Bukan saya menganggap ibu sebagai orang tak mampu. Tetapi saya
kebingungan ketika tadi di jalan bertemu dengan lelaki yang tidak mau menerima
uang ini sebagai ucapan terima kasih atas perbuatnnya baiknya. Sekaligus pemuda
itu berpesan—agar kebaikannya tidak berhenti pada saya. Dan saya melanjutkan
perbuatan baik ini untuk ibu. Semoga kebaikan ini juga tidak berhenti di Ibu.
Dan akhirnya saya sampaikan terima kasih. Begitulah kira-kira isi pesan
secarik kertas yang ditinggalkan pemuda itu, ibu itupun terharu membacanya.
Kemudian ia teringat dengan anaknya yang tidak sekolah—yang “menghibahkan”
dirinya untuk mencari uang demi kesembuhan Ibunya yang sedang mengidap penyakit
kanker untuk operasi. “Nak Didin, bukankah Tuhan tidak membiarkan kita”
begitulah gumam ibu itu sanbil berdiri.
Kisah
di atas hanya sekedar kisah dengan pesan yang sangat sederhana—berbuatlah baik
kepada siapapun. Maka tak salah apa yang dikatakan oleh sang Bapak Bangsa,
Gusdur. “jika kamu bisa berbuat baik, orang tidak akan pernah bertanya apa
agamamu, sukumu, bahasamu etnismu, suku dan rasmu”. Namun kini, perbuatan baik
seolah dipisah oleh aling-aling. Ketika orang kaya hanya berkomunikasi baik
sesama kayanya—tanpa memikirkan bahwa kekayaan itu hanyalah titipan Tuhan.
Perbedaan
juga termasuk yang paling kerap dijadikan alasan oleh manusia modern tentang
perbuatan baiknya. Ketika ada orang yang berbeda agama dengan kita misalnya!,
kita sering mencurigai sebagai mata-mata. Sehingga kita acuh tak acuh dan
mengabaikan adanya orang itu. Padahal kata Didin, manusia terdidik adalah
manusia yang bisa berbuat baik kepada siapapun.
Orang-orang kadang saling menyimpan tanya,
untuk apa berbuat baik?, padahal hidup ini adalah kompetisi—siapa yang bisa, ia
yang bahagia!. Demikian stigma pikir manusia modern saat ini. tak ubahnya hukum
rimba, siapa yang menang dia yang berkuasa. Tetapi kehidupan manusia lebih dari
kehidupan hewan—dengan hukum rimbanya itu. Kehidupan manusia adalah kebaikan,
kemakmuran, keadilan sosial dan kedaiaman milik bersama. Bukan milik orang
kaya, pemerintah dan buka milik siapa-siapa. Tetapi milik kita (manusia) bersama.
Maka, apakah kalian masih bertanya untuk apa berbuat baik. Didin telah
mengajari kalian, kebaikannya kembali lagi padanya—karena Tuhan tidak
membiarkan kita!. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
kalian semua bisa berbuat baik kok!Prilaku Baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar