Selasa, 21 Maret 2017

Sikap Baik

Berbuat baik; Jangan Menunggu Orang Lain!
Oase Didin si pemulung sampah yang gemar melakukan kebajikan
Oleh: Herman L*
            Di abad global ini,  kita dengan mudah dapat memanifestasikan nilai-nilai kebaikan—entah, Ia menyimpan orientasi ketulusan atau pengharapan (agar juga diperlakukan baik oleh orang lain) pada intinya “gampanglah” berbuat baik pada zaman ini. Namun sayangnya, banyak orang yang malah berbuat sebaliknya—bahkan ironinya alih-alih berbuat kebajikan, justru ia mengalihakan praduganya pada sangkaan yang tidak baik—husnudzan.
            Dalam satu kisah misalnya, sebutlah si Didin, pemuda miskin di daerah itu. ia tidak sekolah—aktifitas hariannya ia lalui dengan membantu orang tuanya menjadi pemulung sampah. Ia tidak pernah keberatan, meski teman sebayanya menghabiskan waktunya di bangku sekolah. Bagi Didin, manusia terdidik bukan melulu yang ada di sekolah, tapi manusia terdidik adalah ia yang mampu membaca apapun; baik yang bentuknya tulisan, keadaaan atau alam. Pada intinya, Didin menrjemahkan kata “terdidik” adalah ia yang berbuat baik untuk sesama.
            Hingga dalam suatu waktu, di saat perjalanan pulangnya. Didin menemukan seorang lelaki gagah sedang memukul-mukul ban mobilnya yang sedang kempes.
            “kenapa Pak?” Tanya Didin.
            “ini mas, ban mobil saya sedang kempes. Padahal saya harus datang tepat waktu, karena saya ada janji dengan Bapak Bupati jam ini” ucap Bapak itu.
            “baiklah pak, tunggu di sini dulu saya akan membawa ban mobil ini ke bengkel sekitar sini dulu” begitu ucap Didin setelah bersusah payah membantu Bapak itu membuka ban yang sedang kempes itu.
            Singkat cerita, Didinpun datang kembali setelah Bapak itu menungguinya. Dan Didin kembali membantu untuk memasangnya. Akhirnya mobil itu bisa kembali digunakan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum Bapak itu meninggalkan Didin, Ia sempat menyodorkan ongkos ganti kerja Didin, “ini mas sebagai ucapan terima kasih saya pada sampean karena telah membantu saya”. “tidak usahlah Pak, ini memang tanggung jawab saya sebagai manusia”. “sebaiknya uang ini diberikan kepada yang lebih membutuhkan daripada saya—dan jangan sampai kebaikan berakhir di Bapak” timpal Didin seraya tersenyum tulus.
            Pada saat melanjutkan perjalanan, Bapak itu mampir ke warung kecil di daerah yang tak jauh dari tempat tadi. “Kopi Buk”. “ia nak tunggu sebentar”, Ibu paruh baya itupun datang memberikan kopi kepada lelaki itu. Setelah badannya terasa segar kembali, lelaki itu melanjutkan perjalannya dengan meninggalkan secarik kertas dengan tumpukan beberapa juta uang di atas meja warung Ibu itu.
            Ibu, mohon maaf sebelumnya. Bukan saya menganggap ibu sebagai orang tak mampu. Tetapi saya kebingungan ketika tadi di jalan bertemu dengan lelaki yang tidak mau menerima uang ini sebagai ucapan terima kasih atas perbuatnnya baiknya. Sekaligus pemuda itu berpesan—agar kebaikannya tidak berhenti pada saya. Dan saya melanjutkan perbuatan baik ini untuk ibu. Semoga kebaikan ini juga tidak berhenti di Ibu. Dan akhirnya saya sampaikan terima kasih. Begitulah kira-kira isi pesan secarik kertas yang ditinggalkan pemuda itu, ibu itupun terharu membacanya. Kemudian ia teringat dengan anaknya yang tidak sekolah—yang “menghibahkan” dirinya untuk mencari uang demi kesembuhan Ibunya yang sedang mengidap penyakit kanker untuk operasi. “Nak Didin, bukankah Tuhan tidak membiarkan kita” begitulah gumam ibu itu sanbil berdiri.
            Kisah di atas hanya sekedar kisah dengan pesan yang sangat sederhana—berbuatlah baik kepada siapapun. Maka tak salah apa yang dikatakan oleh sang Bapak Bangsa, Gusdur. “jika kamu bisa berbuat baik, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu, sukumu, bahasamu etnismu, suku dan rasmu”. Namun kini, perbuatan baik seolah dipisah oleh aling-aling. Ketika orang kaya hanya berkomunikasi baik sesama kayanya—tanpa memikirkan bahwa kekayaan itu hanyalah titipan Tuhan.
            Perbedaan juga termasuk yang paling kerap dijadikan alasan oleh manusia modern tentang perbuatan baiknya. Ketika ada orang yang berbeda agama dengan kita misalnya!, kita sering mencurigai sebagai mata-mata. Sehingga kita acuh tak acuh dan mengabaikan adanya orang itu. Padahal kata Didin, manusia terdidik adalah manusia yang bisa berbuat baik kepada siapapun.
            Orang-orang kadang saling menyimpan tanya, untuk apa berbuat baik?, padahal hidup ini adalah kompetisi—siapa yang bisa, ia yang bahagia!. Demikian stigma pikir manusia modern saat ini. tak ubahnya hukum rimba, siapa yang menang dia yang berkuasa. Tetapi kehidupan manusia lebih dari kehidupan hewan—dengan hukum rimbanya itu. Kehidupan manusia adalah kebaikan, kemakmuran, keadilan sosial dan kedaiaman milik bersama. Bukan milik orang kaya, pemerintah dan buka milik siapa-siapa. Tetapi milik kita (manusia) bersama. Maka, apakah kalian masih bertanya untuk apa berbuat baik. Didin telah mengajari kalian, kebaikannya kembali lagi padanya—karena Tuhan tidak membiarkan kita!. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
                                                                       
kalian semua bisa berbuat baik kok!Prilaku Baik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...