Rabu, 18 Mei 2016

Menatap masa depan pendidikan indonesia



Menatap Masa Depan Pendidikan Indonesia
(Upaya menanamkan sifat ke-manusia-an melalului pendidikan cinta dan kasih sayang)
            Sebagai mana mafhum pendidikan merupakan cara untuk memperbaiki akhlak manusia. Baik buruknya moral manusia tergantung  pada pola gerak pendidikan. Dan pendidikan pun bermacam-macam. Salah satunya adalah pendidikan cinta dan kasih sayang—penerapan kedua pola pendidikan ini setidaknya dapat menjadi solusi alternative terhadap dunia pendidikan kita yang saat ini sedang kompleks dengan persolan-persolan.
            Tidakkah menjadi “makanan ringan” kita sehari-hari, tentang berita pelecehan seksual, kasus narkoba, perkelahian dan semacamnya misalnya—yang telah dilakukan oleh peserta didik kita. Bahkan yang paling terbaru, sekalian yang paling membuat haru adalah kasus pencabulan yang dilakukan oleh sembilan siswa yang masih dibawah umur terhadap perempuan yang juga masih dalam umur se-umur “jagung” (diakses dari berita Koran Jawa Pos). Hal ini merupakan sekelumit dari sekian banyak persoalan yang perlu perbaikan pada pendidikan kita saat ini.
            Dalam pembacaan yang sangat asketis pada kondisi dunia pendidikan kita, hal di atas terjadi disebabkan karena substansi sifat ke-manusia-an tidak tertanam pada peserta didik. Apa hubungannya antara sifat ke-manusia-an dengan kegagalan proses pendidikan yang mengakibatkan terjadinya prilaku amoral ?. jelas mempunyai relasi yang sangat erat. Hal ini terlihat pada tatanan nilai yang dikandung dalam paham ke-manusia-an yang mengajarkan tentang maslahah atau kerukunan antar manusia yang hidup.
            Dari konteks pemaknaan itulah bisa kita bandingkan, dan dapat kita artikan mengenai sifat ke-manusia-an, yakni tidak lebih dari perwujudan prilaku yang layak bagi manusia itu sendiri. Bobroknya praktek pendidikan—manusia yang ber-kepribadian, di dalam konteks hidup yang sebenarnya—adalah bagian dari indikasi minimnya sifat ke-manusia-an ini pada jiwa peserta didik. Sehingga berbagi persoalan saling tumpang tindih dan tidak kunjung menemukan solusi.
            Sudah berbagai cara yang telah diupayakan oleh pemerintah, dalam rangka memperbaiki pendidikan Indonesia. Misal, dengan digalakkannya pendidikan karakter—penekanannya pada iman dan takwa, kampanye menolak penyalah gunaan obat terlarang, dan berbagi macam. Namun sayangnya, usaha-usaha itu seolah tidak membuahkan hasil—hanya sebagai usaha yang menguras tenaga. Ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam merevitalisasi terjadinya degradasai moral pada manusia pendidikan ini.
            Seburuk-buruknya manusia ia pasti mempunyai “hati”—wilayahnya perasaan. Dan menjadi hukum kausal, bahwa manusia akan baik tatkala hatinya sedang baik. Dari itu juga membuat kita terbangun untuk sadar bahwa menyalahkan pendidikan sebagai proses yang salah karena lahirnya manusia yang “premature” dalam aksi kebaikan, dapat dikira kurang tepat. Karena yang dapat dijadikan kebenaran fungsional—adalah lemahnya sifat ke-manusia-an tersebut.
            Peran penting yang perlu diusahakan saat ini, adalah memerankan proses pendidikan cinta dan kasih sayang. Dalam artian—kepentingan pendidikan pragmatis yang sering dilakukan oleh beberapa pihak harus lenyap dalam pendidikan. Pendidikan ini juga lebih menekankan pada sifat merasa terhadap apa yang dirasakan oleh setiap peserta didik—meliputi, yang menjadi kebutuhan dan keinginannya.
            Sehingga penanaman nilai-nilai pendidikan dapat secara mudah tersampaikan, dan bukan lagi hanya menjadi teori belaka—namun benar-benar disempurnakan oleh aplikasi nyata dalam kehidupan. Bobroknya moral, dan perilaku anti-kemanusiaan lainnya tidak akan lagi terdengar dalam ruang Indonesia.

Abstrack Pesantren Sebagai miniatur masyarakat madani



Pesantren sebagai Miniatur Masyarakat Madani
(Upaya Bersikap Bijak Terhadap Perkembangan Teknologi)
            Dalam arti yang sederhana, pesantren adalah tempat santri untuk memperdalam ilmu-ilmu keagamaan. Secara manajemen, otoritas tertinggi di dalam pesantren dipegang oleh pengasuh (Kiai) sekaligus sebagai pemilik pesantren. Pesantren tidak terlalu muluk mengonsep cita-cita santri, pesantren hanya mencipta karakter santri untuk bersikap saleh terhadap sosial. Didalam mengupayakan terciptanya karakter kesalehan sosial terhadap santri, pesantren mengawalinya dengan berbagai kegiatan-kegiatan ringan namun banyak menyimpan manfaat. Kita sebut saja misalnya, shalat jamaah yang rutin dilakukan di pesantren, ajian kitab kuning (sorogan), cara makan ala santri (makan bersama dengan senampan nasi) dan banyak kegiatan yang lainnya. Dalam tafsir yang sederhana, kegiatan-kegiatan ini menunjuk pada wujud kebersamaan, nilai gotong royong, sikap humanisme dan toleran. Dari orientasi non formal ini, telah mengidentifikasikan adanya kesamaan sikap dengan kehidupan masyarakat madani, laiknya masyarakat madani yang digagas oleh Nabi Terakhir Muhammad Saw.
            Dalam bingkai perkembangan teknologi (kita menyebutnya sebagai masa global). Segala sisi pekerjaan kehidupan dijawab dengan hadirnya alat-alat teknologi. Semua bentuk pekejaan dicarikan solusi menjadi instan, bahkan dalam istilah saya kesalehan social pun diaktualisasikannya melalui alat-alat teknologi (dalam maksud mempermudah). Sehingga saat ini, kita banyak jumpai media-media social yang menjembatani hal itu. Namun sayangnya, dibalik implikasi positif juga terdapat implikasi negatif dari adanya perkembangan teknologi ini. Misalnya sikap gotong royong yang kian hari mulai pudar, sikap humanisme yang juga mulai luntur dan sikap toleransi yang sangat sulit kita temukan di abad ini. Munculnya hal ini, tidak lain karena ketidak mampuan manusia digital untuk bersikap selektif dan bijak terhadap perkembangan teknologi. Dan menjadi penting, untuk  segera mengingat pesantren. dalam menyikapi hal yang baru, pesantren tidak menunjukkan sikapnya sebagai pemegang tradisi (lama) mutlak. Seperti dalam ajarannya, pesantren tidak apatis terhadap hal yang baru. Tetapi pesantren cenderung bersikap hati-hati. Hal ini dapat dibuktikan melalui adagiumnya yaitu “mempertahankan yang lama yang baik, dan menerima pada yang baru yang lebih baik”. Inilah pesantren, memiliki karakter kesalehan sosial laiknya masyarakat madani gagasan Rasulullah, dalam menyikapi persoalan perkembanganpun, pesantren akan menunjukkan kebijaksanaannya. Yakni, mempertahankan tadisi dan membangun dinamisasi.

Perempuan sebagai motivasi



Deklarasi Motivasi Belajar Melalui Adagium Perempuan*
(kegelisahan kaum bersarung menyikapi koridor bertingkah laku—perempuan)
            Berawal dari sebuah kisah, seorang pengendara becak bermandi peluh menarik penumpang yang gemuk-gemuk di panas matahari dan di jalan yang menanjak. Kisah yang lain misalnya, Seorang mahasiswa bertekun mempelajari buku sampai malam, tidak menghiraukan lelah kantuknya. Dan kisah Seorang petani yang mencangkul di sawahnya dari pagi sampai petang tanpa berhenti, dan banyak cerita lainnya. Kemudian jika kita perhatikan orang-orang itu, timbul pertanyaan dalam diri kita: mengapa mereka melakukan atau bekerja seperti itu, apa yang mendorong mereka untuk berbuat demikian?.
            Itulah yang dikatakan motivasi, yaitu dorongan yang timbul pada diri seseorang, sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Motivasi itu sangat penting dalam kegiatan belajar, bahkan motivasi bisa disebut sebagai syarat mutlak untuk belajar. Yang sering terjadi, seperti cerita yang telah disampaikan di atas, seseorang melakukan sesuatu karena ada maksud. Tak dapat dipungkiri, seseorang melakukan sesuatu atas peribahasa perempuan.
            Hal ini menjadi wajar, mengingat semua manusia diciptakan memiliki dua unsur kesadaran. Yakni, unsur intrinsik (dalam) dan ekstrinsik (luar). Menjadikan perempuan sebagai motivasi belajar, termasuk motivasi unsur ekstrinsik, yaitu dorongan dari kesadaran luar diri seseorang. Namun, menjadi cacat pada saat abad aksara ini adalah menjadikan perempuan hanya sebagai ritus permainan saja, sehingga yang didapat adalah konflik-konflik negatif atau tekanan batin.
            Nah, yang menjadi persoalan bagaimana kalau yang menjadikan perempuan sebagai motivasi belajar itu adalah santri?, yang diketahui seorang santri terbatas oleh peraturan-peraturan pesantren, misalnya tidak boleh berhubungan dengan perempuan. Dalam hal inilah, seseorang terkadang melakukan penyelewengan pemaknaan terhadap pembacaan arti menjadikan perempuan sebagai motovasi belajar. Yaitu menganggapnya, perempuan itu harus bersama, berdampingan dan harus tahu yang dilakukannya--belajar. Padahal, yang sebenarnya memaknai perempuan sebagai motivasi belajar adalah  seseorang tekun belajar karena perempuan itu, dan untuk kebaikannya.
             Ini tetap tidak akan menjadi aib atau kesalahan bagi seorang santri, karena menjadikan perempuan sebagai motivasi belajar tanpa harus berhubungan dengan perempuan itu adalah hal yang diwajari. Sebab tidak ada yang bertentangan dengan doktrin agama yang dianut pesantren. Artinya boleh-boleh saja, yang tidak dibolehkan apabila ia melakukan sesuatu yang menyalahi aturan agama dengan perempuan itu.
            Memposisikan perempuan sebagai motivasi belajar adalah tahap awal kebangkitan seseorang dari sifat malas-malasan. Karena pada tahap selanjutnya, mereka belajar bukan lagi karena perempuan itu, tetapi murni kesadarannya karena ia butuh ilmu untuk segera dipelajari. Kemudian setelah ia merasakan belajar adalah sebuah kebutuhan intelektualnya, maka yang didapat adalah dua sekaligus, yakni ilmu dan perempuan. Perempuan mana sih yang tidak suka laki-laki suka belajar?.
            Sikap waspada sangat dibutuhkan, ketika seseorang sedang belajar karena perempuan. Karena tidak menutup kemungkinan, perempuan itu akan membuat seseorang lengah akan kebutuhan belajar. Inilah sifat keambiguan yang timbul ketika sedang berproses belajar karena dorongan perempuan, yaitu antara peran mulya dan durja perempuan.
            Hal ini, menuntut seseorang untuk mampu bersikap bijak, berhati-hati dan waspada. Lengah sedikit saja, kegagalan mewujudkan keinginan belajar untuk lebih tekun akan terganggu karena tidak rukun. Karena hari ini, adalah abadnya banyak orang melakukan sesuatu hanya karena membuang waktu. Apakah santri juga demikian?, seharusnya tidak.
           

            *PERSPEKTIF OPLOSAN
Herman L

Terima Kasih Guruku



Terima Kasih Guruku
(Stimulus kaum sarungan mengingat jasa ikhlas seorang guru)
            Dari awal perjalanan proses pendidikan, kita mengenal sosok penting dalam lembaga pendidikan, yakni seorang guru. Sosok tangguh, yang mengupayakan terciptanya bangsa yang cerdas, berkeadaban dan berkebangsaan. Maka tak heran jika tanggal 25 Nopember, ditetapkan sebagai hari penting nasional bagi bangsa indonesia, yakni dengan nama Hari Guru Nasional. Hal tersebut tidak lain bertujuan untuk mengingat peran mulia para guru, peran ikhlas para guru dan jasa para guru yang tidak dapat dibalas dengan materi.
            Apakah kita tidak pernah ingat, bahwa kita terlahir tanpa  pengetahuan. Tidak bisa membaca, menulis dan tidak bisa membedakan hal yang baik dan yang jelek. Apakah kita juga pernah membayangkan, bagaimana nasib kita jika tidak bisa membaca, menulis dan membedakan hal yang baik dan yang jelek. Barangkali jika hal demikian yang terjadi, kita akan menjadi sampah dunia. Yang keberadaannya sama sekali tidak pernah diakui oleh orang lain. Tetapi, sosok berhati Malaikat menolong kita, mengubah jalan nasib kita dan memberikan jalan bagi kita, agar kita berguna terhadap perkembangan kehidupan.
            Inilah kemudian membuat hati kita tersentak, membuat kita sadar bahwa kita tertolong oleh malaikat. Tidak hanya itu, sosok guru yang bermuka malaikat masih saja menyumbangkan prilakunya sebagai teladan bagi kita. Jika ia pernah berkata, seimbangkan hubungan kita dengan Tuhan dan Manusia. Maka apa yang terjadi, kita melihat seorang guru berusaha lebih dulu untuk melangkahkan kaki dan hatinya mengupayakan apa yang ia bicarakan untuk benar-benar dilakukan. Dari hal ini mungkin kita hanya bisa berucap atau bergumam dalam hati, guruku adalah panutanku di dalam kelas dan di luar kelas. Sehingga tidak salah peribahasa indonesia menyebutkan bahwa, seorang guru adalah sosok yang digugu dan ditiru.
            Tetapi kemudian ada pelengseran makna yang dilakukan oleh guru-guru yang ada pada era baru ini. Jika kita pernah menyebutkan guru adalah pahlawan tanpa jasa, maka sebutan itu hanya pantas untuk seorang guru era lama. Dan jika kita pernah bangga terhadap guru, hingga kita pernah bergumam ia sebagai malaikat, karena sebagai seorang yang digugu dan dituri, maka hal itu juga berlaku hanya untuk guru era lama. Guru era baru menyebutkan bahwa, guru adalah seorang yang menuntut jasa, dan kelakuannya seperti mereka yang banyak dosa, yakni merayu dan menipu bangsa.
            Jika ini yang terjadi, maka izinkanlah kami untuk berdoa pada Tuhan. Ya Tuhanku, munkinkah ini jalan baik-Mu, atau inikah jalan terjal-Mu yang engkau sebut sebagai proses menuju kebaikan. Tetapi, kami sudah tidak mampu melihatnya, jangankan melihat mendengarnyapun, kami sudah merasa bising. Jika kami boleh memohon, lenyapkanlah orang-orang seperti itu seperti engkau melenyapkan musuh-musuh Nabi tempo dulu. Amin. Hal ini adalah ikhtiar kami, yang tidak mau mempunyai sosok teladan yang demikian. Dan kami tidak mampu meluruskan kembali, seorang guru yang telah menyalahi pengertian guru yang sebenarnya. Yakni sebagai pentransformer pengetahuan dan kelakuan yang baik.
            Tetapi kami tidak mau menjadi orang yang munafik, kami akan tetap mengaku mereka guru. Tetapi dalam tanda kutip “bukan lagi sebagai sosok yang digugu dan ditiru”. Kami akan berusaha menerima, meskipun tujuan meraka mengajar bukan untuk mencerdasakan bangsa. Sekalipun dengan alasan mencari uang dan alasan  lainnya yang kurang ajar, kami tetap akan menerimanya.
            Oleh sebab hal itu, kami ucapkan. Terima kasih guruku. Jasamu, keikhlasanmu dan segala kebaikanmu tidak mampu kami balas dengan apapun. Kami hanya bisa melantunkan doa untukmu, dan kami hanya mampu berrusaha untuk membuatmu selalu tersenyum, meskipun hanya sekedar menceritakan kembali dongengmu pada generasi bangsa saat ini. Sekali lagi, terima kasih guruku. Engkau akan tetap aku gugu dan aku tiru, dan engkau akan tetap menjadi panutan hingga kami di jemput kematian.

Herman.

kurikulum nasional dan kurikulum lokal



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Saat ini negara Indonesia telah masuk ke dalam era globalisasi, tentu segala sesuatu telah   mengalami perubahan dan kemajuan yang lebih baik. Yang harus didukung juga oleh   pendidikan, sehingga pendidikan tersebut membuat masyarakat bisa hidup dalam era    globalisasi yang memerlukan kemampuan dari individu-individu itu. Pendidikaan merupakan          hal yang paling penting pada suatu bangsa, karena dapat      menentukan  nasib dari bangsa itu        sendiri pada masa mendatang. Oleh karena itu pendidikan tidak lepas dari kurikulum yang      mencetak siswa-siswanya
            Kurikulum merupakan pedoman mendasar dalam proses belajar mengajar di dunia                         pendidikan dan juga sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan Berhasil tidaknya suatu    pendidikan, tentu akan sangat tergantung pada kurikulum. Kurikulum yang disusun dipusat           terdiri dari beberapa mata pelajaran pokok dengan harapan agar peserta didik diseluruh Indonesia mempunyai standar kecakapan yang sama. Kurikulum tersebut dinamai          kurikulum nasional atau kurikulum inti dan kurikulum  yang disusun di daerah – daerah      disebut kurikulum muatan local.
B.     Rumusan Masalah.
1.      Apa pengertian kurikulum inti dan local ?
2.      Apa dasar pelaksanaan kurikulum inti ?
3.      Apa saja Komponen-Komponen Dalam Kurikulum Inti ?
4.      Apa Tujuan dan Fungsi Kurikulum Lokal Keterampilan ?
5.      Ruang Lingkup Kurikulum Lokal ?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kurikulum Inti dan Kurikulum Lokal
1.      Pengertian Kurikulum Inti
      Kurikulum inti disebut juga sebagai kurikulum nasional, karena kurikulum inti disusun dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu menciptakan para lulusan menjadi manusia indonesia seutuhnya (uuspn no. 2 tahun 1989, pasal 4) yang tentunya selalu memperhatikan pada kebutuhan siswa dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh.
      Menurut Caswell, seperti dikutip dalam Nasution (1993: 115), define kerukulum inti adalah sebagai berikut: “ A continus, areful planned series of experience which are based on significant personal and social problems and which involve learning of common concern to all youth.[1]
            Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kurikulum inti adalah :
1. kurikulum inti merupakan rangkaian pengalaman yang saling berkaitan
2. direncanakan secara terus menerus sebelum dan selama dijalankan
3. berdasarkan pada masalah-masalah yang dihadapi
4. berdasarkan pribadi dan social
5. diperuntukkan bagi semua siswa, karenanya termasuk pendidikan umu
2.      Pengertian Lokal
      Kurikulum muatan lokal adalah seperangkat rencana dan peraturan mengenai isi dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar yang  ditetapkan oleh daerah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing (Depdikbud dalam Erry Utomo, 1997: 1).[2]
      Secara umum, pengertian muatan lokal adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran yang disusun oleh satuan pendidikan sesuai dengan keragaman potensi daerah, karakteristik daerah, keunggulan daerah, kebutuhan  daerah,dan lingkungan masing-masing serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelengaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai  tujuan pendidikan tertentu. Secara khusus, muatan lokal adalah program pendidikan dalam bentuk mata pelajaran yang isi dan media pembelajarannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan 14 sosial, dan lingkungan  dipelajari oleh peserta didik di daerah itu (Zainal Arifin, 2011: 205).[3]
      Kurikulum muatan lokal diartikan sebagai program pendidikan  yang isi (bahan pembelajaran yang digunakan untuk mencapai tujuan muatan lokal)  dan media penyampaiannya (metode dan sarana yang digunakan dalam penyampaian isi muatan lokal) dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya serta kebutuhan pembangunan daerah yang perlu diajarkan kepada siswa.
      Kurikulum muatan lokal merupakan salah satu bagian dari kurikulum yang berlaku saat ini, istilah muatan lokal dalam dunia pendidikan di Indonesia secara resmi mulai tahun 1987, melalui Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987, tentang muatan lokal. Kurikulum atau mata pelajaran muatan lokal pada awalnya bukan mata pelajaran yang berdiri sendiri, melainkan materi pelajaran lokal yang dimasukan ke dalam berbagai bidang studi yang relevan. Ibrahim ( 1990 ), mengemukakan bahwa “muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan sosial dan lingkungan budaya serta kebutuhan perkembangan daerah”.
      Sejak diberlakukannya kurikulum tahun 1994, muatan lokal menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri, atau tidak lagi diintegrasikan pada mata pelajaran lainnya. Konsep muatan lokal tidak lagi sama seperti tahun 1987, konsep muatan lokal di sini adalah “Bentuk penyelenggaraan pendidikan yang bersifat desentralisasi, sebagai upaya pemerintah untuk lebih meningkatkan relevansi terhadap kebutuhan daerah yang bersangkutan” (Suharsimi Arikunto : 1998). Sedangkan pendapat lainnya mengemukakan bahwa “Kurikulum muatan lokal menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri, berdasarkan pendekatan monolitik” (Usman Wahyudi dan Yatim Riyani :1995). Pendekatan monolitik bertitik tolak dari pandangan bahwa setiap mata pelajaran mempunyai otonomi masing-masing, ia membawa misi tertentu dalam suatu kesatuan sistem. Jadi pada kurikulum 1994 muatan lokal sudah menjadi bidang studi yang berdiri sendiri, baik bidang studi wajib maupun bidang studi pilihan, atau lebih dikenal dengan muatan lokal wajib dan muatan lokal pilihan.
      Lingkungan alam adalah lingkungan hidup dan tidak hidup yang mencakup komponen hewan dan tanaman beserta tempatnya, dan hubungan timbal balik antara komponen tersebut. Jadi, dalam lingkungan alam terdapat ekosistem antara lain; kolam, sungai, hutan, sawah, keindahan alam, dan sebagainya.[4]
      Lingkungan sosial adalah Lingkungan yang mencakup hubungan timbal balik (interaksi) antara manusia satu dengan yang lainnya sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan tersebut. Misal; interaksi antara manusia yang terdapat dalam lingkungan sekolah, lingkungan kelurahan/desa, rukun tetangga, dan lembaga-lembaga formal, seperti koprasi unit desa, puskesmas, dan lembaga-lembaga informas lainnya seperti; majelis Ta’lim, majelis Da’wah Islamiah dan sebagainya.
      Lingkungan budaya adalah lingkungan yang mencakup segenap unsur budaya yang dimiliki masyarakat di suatu daerah tertentu. Termasuk di dalamnya antara lain adalah kepercayaan, kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, aturan-aturan yang umumnya tidak tertulis (misalnya; tatakrama, cara pergaulan, etika dengan orang tua, dengan tetangga), nilai-nilai serta penampilan perlambang-perlambang yang menyatakan perasaan, yang antara lain terdapat dan kesenian daerah.[5]
      Perpaduan antara lingkungan alam, sosial dan budaya hakikatnya membentuk suatu kehidupan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang disebut  dengan pola kehidupan. Jadi pola kehidupan masyarakat mencakup interaksi antara anggota masyarakat tersebut yang meliputi interaksi antara individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok lainnya baik secara formal dan informal. Dalam kenyataannya pola kehidupan suatu masyarakat dapat berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan alamnya dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Kebudayaan masyarakat mencakup antara lain; gagasan, keyakinan, pengetahuan, aturan dan nilai, dan simbol-simbol yang di gunakan untuk menanggapi lingkungannya. Dengan demikian, pengembangan bahan pelajaran muatan lokal yang mengacu pada pola kehidupan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung dalam mengembangkan wawasan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya.
B.     Dasar Pelaksanaan Kurikulum Inti
       Didalam pelaksanaan kurikulum terdapat banyak factor yang harus dipertimbangkan untuk mencapai tujuan dari kurikulum tersebut adapun didalam penyusunanya kurikulum mempunyai landasan yang terdiri dari landasan ideal , landasan hukum dan landasan teori. Landasan ideal berupa UUD 1945, pancasila dan tap MPR tentang GBHN dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional dan tujuan pendidikan nasional.
       Landasan hukum berupa peraturan pemerintah republik indonesia Nomor 29 tahun 1990, tentang pendidikan menengah, keputusan mendikbud Nomor 060/UU/1993 tentang kurikulum sebagaimana tercantum dalam landasan program pengembangan kurikulum. Landasan teori berupa buku landasan program dan pengembangan kurikulum yang memuat tentang pedoman dalam pengembangan kurikulum dan buku pelaksanaan kurikulum terdiri atas pedoman kegiatan belajar mengajar untuk setiap mata pelajaran.
       Didalam pelaksanaan kurikulum terdapat banyak factor yang harus dipertimbangkan untuk mencapai tujuan dari kurikulum tersebut adapun didalam penyusunanya kurikulum mempunyai landasan yang terdiri dari Landasan Ideal , Landasan Hukum, Landasan Teori.[6]
a.       Landasan Ideal
Berupa UUD 1945, pancasila dan Tap MPR tentang GBHN dalam             rangkamewujudkan tujuan pembangunan nasional dan tujuan pendidikan           nasional.
b.      Ladasan Hukum
Berupa peraturan pemerintah republik Indonesia nomer 29 tahun 1990, tentang      pendidikan menengah, keputusan mendikbud nomor 060/U/1993 tentang kurikulum sebagaimana tercantum dalam landasan, program pengembangan kurikulum.
c.       Landasan Teori
            Berupa buku landasan program dan pengembangan kurikulum yang memuat tentang pedoman dalam pengembangan kurikulum dan buku pelaksanaan kurikulum terdiri atas pedoman kegiatan belajar mengajar untuk setiap mata pelajaran.
C.     Komponen-Komponen Dalam Kurikulum Inti
       Kurikulum inti atau nasional didalam penyusunannya juga harus sesuai dengan tingkatan pendidikan masing – masing. Seperti kurikulum nasional pada pendidikan dasar terdiri dari:
a.Pendidikan pancasila
b.Pendidikan agama
c.Pendidikan kewarganegaraan
d.Bahasa Indonesia
e.Membaca dan menulis
f.Matematika
g.Kerajinan tangan dan kesenian
h.Menggambar
i.Pendidikan jasmani
Komponen – komponen sebagai dasar dalam penyusunan kurikulum inti terdiri dari tujuan, isi, metode (tehnik menyampaikan dalam proses belajar mengajar), evaluasi program.
Menurut Tyler, kurikulum menyangkut hal-hal berikut:[7]
a.Tujuan yang akan dicapai
b.Isi materi pa yang harus diprogramkan untuk mencapai tujuan tersebut
c.Bagaimana isi kurikulum itu diorganisasikan
d.Bagaimana mengetahui bahwa tujuan yang akan dicapai dimiliki peserta didik.
D.    Tujuan dan Fungsi Kurikulum Muatan Lokal Keterampilan
       Tujuan muatan lokal adalah untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap hidup kepada peserta didik agar memiliki wawasan yang mantap tentang lingkungan dan masyarakat sesuai dengan nilai yang berlaku di daerahnya dan mendukung kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
       Lebih lanjut dikemukakan, bahwa secara khusus kurikulum muatan lokal bertujuan agar peserta didik:[8]
a)      Mengenal dan menjadi lebih akrab dengan lingkungan alam, sosial, dan budayanya.
b)      Memiliki bekal kemampuan dan keterampilan serta pengetahuan mengenai daerahnya yang berguna bagi dirinya maupun lingkungan masyarakat pada umumnya.
c)      Memiliki sikap dan perilaku yang selaras dengan nilai-nilai atau aturan-aturan yang berlaku di daerahnya, serta melestarikan dan  mengembangkan nilai-nilai luhur budaya setempat dalam rangka  menunjang pembangunan nasional.
       Pemahaman terhadap konsep dasar dan tujuan muatan lokal di atas, menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum muatan lokal pada hakekatnya bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara peserta didik dengan lingkungannya (E. Mulyasa, 2007:274).
       Adapun fungsi muatan lokal (Abdullah Idi, 2007: 266267) dalam  komponen kurikulum secara keseluruhan memiliki fungsi sebagai berikut:[9]
a.       Fungsi Penyesuaian
Sekolah merupakan komponendalam masyarakat, sebab sekolah berada dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, program sekolah harus disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan daerah dan masyarakat. Demikian juga pribadi-pribadi yang ada dalam sekolah yang hidup dalam lingkungan masyarakat, sehingga perlu diupayakan agar setiap pribadi dapat menyesuaikan diri dan akrab dengan  daerah lingkungannya.
b.      Fungsi Integrasi
Peserta didik adalah bagian integral dari masyarakat. Karena itu, muatan lokal merupakan program pendidikan yang berfungsi mendidik pribadi-pribadi peserta didik agar dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat dan lingkungannya atau berfungsi untuk membentuk  dan mengintegrasikan pribadi peserta didik dengan masyarakat.
c.       Fungsi Perbedaan
Peserta didik yang satu dengan yang lain berbeda.  Pengakuan atas perbedaan berarti memberi kesempatan bagi  setiap pribadi untuk memilih apa yang sesuai dengan minat, bakat,  dan kemampuannya.
       Muatan lokal adalah suatu program  pendidikan yang pengembangannya bersifat luwes, yaitu program pendidikan yang pengembangannya disesuaikan dengan minat, bakat, kemampuan, dan kebutuhan peserta didik, lingkungan dan daerahnya. Hal ini bukan berarti muatan lokal akan mendidik setiap pribadi yang individualistik, akan tetapi muatan lokal harus dapat berfungsi untuk mendorong dan membentuk peserta didik kearah kemajuan sosialnya dalam masyarakat.
       Berdasarkan tujuan dan fungsi  tersebut diatas, dapat ditarik kesimpulan tujuan dan fungsi muatan lokal keterampilan adalah untuk  memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap hidup kepada peserta didik serta mata pelajaran muatan lokal keterampilan ini menyesuaikan dengan lingkungan sekitar, memberikan bekal agar siswa dapat bermanfaat untuk masyarakat sekitar, serta memberikan wawasan agar siswa mengetahui kemampuan dasar yang dimiliki dan kemampuan dasar tersebut menjadi kelebihan dari siswa itu sendiri.
E.     Ruang Lingkup Kurikulum Lokal
Ruang lingkup kurikulum muatan lokal adalah sebagai berikut:
      Lingkup isi muatan lokal didasarkan pada keadaan daerah, kebutuhan lingkungan dan kebutuhan siswa yang akan belajar.
                              1.  Lingkup sekolah
Ruang lingkup dari muatan lokal disekolah adalah sebagai berikut:
a.       Muatan lokal dapat berupa : bahasa daerah, bahasa asing (arab,  Inggris, Mandarin dan Jepang), kesenian daerah, keterampilan dan  kerajinan daerah, adat istiadat (termasuk tata krama dan budi pekerti), dan pengetahuan tentang karakteristik lingkungan sekitar, serta hal-hal yang dianggap perlu oleh daerah yang bersangkutan.
b.      Muatan lokal wajib diberikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, baik pada pendidikan umum, pendidikan kejuruan maupun pendidikan khusus.
                              2.  Lingkup wilayah
       Beberapa kemungkinan ruang lingkup wilayah berlakunya kurikulum muatan lokal, adalah sebagai berikut:
       Pada seluruh kabupaten/kota dalam suatu provinsi, khususnya di SMA/MA/SMK (Suharsimi Arikunto, 1997: 48) .Muatan lokal pada satu kabupaten/kota atau beberapa kabupaten/kota tertentu dalam suatuprovinsi yang memiliki karakteristik yang sama.Pada seluruh kecamatan dalam suatu kebupaten/kota yang memiliki karakteristik yang sama. Setiap sekolah dapat memilih dan melaksanakan muatan lokal sesuai dengan karakteristik peserta didik, kondisi masyarakat, serta kemampuan dan kondisi sekolah. 
       Ruang lingkup muatan lokal yang sangat banyak dan juga encakup seluruh aspek, yang disesuaikan dengan daerah masing-masing. Ruang ingkup yang sangat luas tersebut juga akan menjadikan ciri khas setiap sekolah. Kelebihan muatan lokal ini akan memberikan pengetahuan yang berbeda untuk siswanya. Termasuk muatan lokal keterampilan yang merupakan salah satu muatan lokal yang berbeda dengan yang lain. Keterampilan yang diberikan menjadikan bekal untuk siswa dalam melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya.[10]















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Dari beberapa penjelasan di atas dapat kami simpulkan bahwa Kurikulum muatan lokal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum nasional, keberadaannya diberikan porsi 20% isi kurikulum dan 80% kurikulum nasioanal, hal ini bertujuan agar penyelenggaraan pendidikan di daerah lebih meningkat relevansinya dengan keadaan dan kebutuhan lingkungannya, yang ditujukan terutama agar peserta didik mencintai lingkungannya. Hal tersebut sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan nasional, oleh karena itu keberadaan kurikulum muatan lokal harus mendukung pelaksanaan kurikulum nasional.
            Selain itu juga dapat kita ketahuai Tujuan program pengembangan kurikulum muatan lokal adalah untuk memberikan bekal pengetahuan keterampilan, pembentukan sikap dan prilaku siswa, agar mereka memiliki wawasan yang luas, dan mantap tentang keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Sehingga nantinya siswa mampu mengembangkan serta melestarikan sumber daya alam dan kebudayaan yang mendukung pembangunan nasional dan daerah.
            Dan hal ini pun setidaknya menunjukkan sebagai upaya Dalam meningkatkan relevansi pendidikan dengan pembangunan dan kebutuhan masyarakat, pemerintah mengusahakan diantaranya dengan pengembangan kurikulum muatan lokal, atau dengan kebijakannya “Link and Match”. Melalui kebujakan ini perlu diperkuat keterkaitan antara pendidikan dan dunia usaha dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan sertifikasi pendidikan dan pelatihan yang relavan dengan kebutuhan ekonomi.








DAFTAR PUSTAKA
            Umar Tirtarahardja¸ Pengantar Pendidikan. 2005. Jakarta; Rineka Cipta.
            Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Link and Match. 1993. Jakarta; Seri kebijakan.
            Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. 2012. Bandung; PT Remaja Rosda Karya.
            Nana Syaodih Sukmadinata, Prinsip Dan Landasan Pngembangan Kurikulum. 1988 Jakarta, Depdikbud, P2LPTK.
            Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. 2008. Bandung; PT Remaja Rosdakarya.
            Abdullah Idi. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktik. 2011. Jogyakarta. Ar-Ruzz Media.
            http// Kurikulum Inti
            http//Kurikulum Muatan Lokal.



[1] Umar Tirtarahardja¸ Pengantar Pendidikan. (Jakarta; Rineka Cipta, 2005). Hal 87
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1993), Link and Match, Jakarta, Seri kebijakan.
[3] Ibid.
[4] Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. (Bandung; PT Remaja Rosda Karya, 2012). Hal 66.
[5] http// Kurikulum Inti
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Prinsip Dan Landasan Pngembangan Kurikulum. (Jakarta, Depdikbud, P2LPTK, 1988). Hal 35
[7] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. (Bandung; PT Remaja Rosdakarya, 2008). Hal 183
[8] Ibid. Hal 167.
[9] Abdullah Idi. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktik. (Jogyakarta. Ar-Ruzz Media, 2011). Hal 58
[10] Diolah dari Internet, Kurikulum Muatan Lokal.

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...