Rabu, 18 Mei 2016

Abstrack Pesantren Sebagai miniatur masyarakat madani



Pesantren sebagai Miniatur Masyarakat Madani
(Upaya Bersikap Bijak Terhadap Perkembangan Teknologi)
            Dalam arti yang sederhana, pesantren adalah tempat santri untuk memperdalam ilmu-ilmu keagamaan. Secara manajemen, otoritas tertinggi di dalam pesantren dipegang oleh pengasuh (Kiai) sekaligus sebagai pemilik pesantren. Pesantren tidak terlalu muluk mengonsep cita-cita santri, pesantren hanya mencipta karakter santri untuk bersikap saleh terhadap sosial. Didalam mengupayakan terciptanya karakter kesalehan sosial terhadap santri, pesantren mengawalinya dengan berbagai kegiatan-kegiatan ringan namun banyak menyimpan manfaat. Kita sebut saja misalnya, shalat jamaah yang rutin dilakukan di pesantren, ajian kitab kuning (sorogan), cara makan ala santri (makan bersama dengan senampan nasi) dan banyak kegiatan yang lainnya. Dalam tafsir yang sederhana, kegiatan-kegiatan ini menunjuk pada wujud kebersamaan, nilai gotong royong, sikap humanisme dan toleran. Dari orientasi non formal ini, telah mengidentifikasikan adanya kesamaan sikap dengan kehidupan masyarakat madani, laiknya masyarakat madani yang digagas oleh Nabi Terakhir Muhammad Saw.
            Dalam bingkai perkembangan teknologi (kita menyebutnya sebagai masa global). Segala sisi pekerjaan kehidupan dijawab dengan hadirnya alat-alat teknologi. Semua bentuk pekejaan dicarikan solusi menjadi instan, bahkan dalam istilah saya kesalehan social pun diaktualisasikannya melalui alat-alat teknologi (dalam maksud mempermudah). Sehingga saat ini, kita banyak jumpai media-media social yang menjembatani hal itu. Namun sayangnya, dibalik implikasi positif juga terdapat implikasi negatif dari adanya perkembangan teknologi ini. Misalnya sikap gotong royong yang kian hari mulai pudar, sikap humanisme yang juga mulai luntur dan sikap toleransi yang sangat sulit kita temukan di abad ini. Munculnya hal ini, tidak lain karena ketidak mampuan manusia digital untuk bersikap selektif dan bijak terhadap perkembangan teknologi. Dan menjadi penting, untuk  segera mengingat pesantren. dalam menyikapi hal yang baru, pesantren tidak menunjukkan sikapnya sebagai pemegang tradisi (lama) mutlak. Seperti dalam ajarannya, pesantren tidak apatis terhadap hal yang baru. Tetapi pesantren cenderung bersikap hati-hati. Hal ini dapat dibuktikan melalui adagiumnya yaitu “mempertahankan yang lama yang baik, dan menerima pada yang baru yang lebih baik”. Inilah pesantren, memiliki karakter kesalehan sosial laiknya masyarakat madani gagasan Rasulullah, dalam menyikapi persoalan perkembanganpun, pesantren akan menunjukkan kebijaksanaannya. Yakni, mempertahankan tadisi dan membangun dinamisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...