Pesantren
sebagai Miniatur Masyarakat Madani
(Upaya
Bersikap Bijak Terhadap Perkembangan Teknologi)
Dalam arti yang sederhana, pesantren
adalah tempat santri untuk memperdalam ilmu-ilmu keagamaan. Secara manajemen,
otoritas tertinggi di dalam pesantren dipegang oleh pengasuh (Kiai) sekaligus
sebagai pemilik pesantren. Pesantren tidak terlalu muluk mengonsep cita-cita
santri, pesantren hanya mencipta karakter santri untuk bersikap saleh terhadap
sosial. Didalam mengupayakan terciptanya karakter kesalehan sosial terhadap
santri, pesantren mengawalinya dengan berbagai kegiatan-kegiatan ringan namun
banyak menyimpan manfaat. Kita sebut saja misalnya, shalat jamaah yang rutin
dilakukan di pesantren, ajian kitab kuning (sorogan), cara makan ala santri
(makan bersama dengan senampan nasi) dan banyak kegiatan yang lainnya. Dalam
tafsir yang sederhana, kegiatan-kegiatan ini menunjuk pada wujud kebersamaan,
nilai gotong royong, sikap humanisme dan toleran. Dari orientasi non formal
ini, telah mengidentifikasikan adanya kesamaan sikap dengan kehidupan
masyarakat madani, laiknya masyarakat madani yang digagas oleh Nabi Terakhir
Muhammad Saw.
Dalam bingkai perkembangan teknologi
(kita menyebutnya sebagai masa global). Segala sisi pekerjaan kehidupan dijawab
dengan hadirnya alat-alat teknologi. Semua bentuk pekejaan dicarikan solusi
menjadi instan, bahkan dalam istilah saya kesalehan social pun
diaktualisasikannya melalui alat-alat teknologi (dalam maksud mempermudah).
Sehingga saat ini, kita banyak jumpai media-media social yang menjembatani hal
itu. Namun sayangnya, dibalik implikasi positif juga terdapat implikasi negatif
dari adanya perkembangan teknologi ini. Misalnya sikap gotong royong yang kian
hari mulai pudar, sikap humanisme yang juga mulai luntur dan sikap toleransi
yang sangat sulit kita temukan di abad ini. Munculnya hal ini, tidak lain
karena ketidak mampuan manusia digital untuk bersikap selektif dan bijak terhadap
perkembangan teknologi. Dan menjadi penting, untuk segera mengingat pesantren. dalam menyikapi
hal yang baru, pesantren tidak menunjukkan sikapnya sebagai pemegang tradisi
(lama) mutlak. Seperti dalam ajarannya, pesantren tidak apatis terhadap hal yang
baru. Tetapi pesantren cenderung bersikap hati-hati. Hal ini dapat dibuktikan
melalui adagiumnya yaitu “mempertahankan yang lama yang baik, dan menerima
pada yang baru yang lebih baik”. Inilah pesantren, memiliki karakter
kesalehan sosial laiknya masyarakat madani gagasan Rasulullah, dalam menyikapi
persoalan perkembanganpun, pesantren akan menunjukkan kebijaksanaannya. Yakni,
mempertahankan tadisi dan membangun dinamisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar