Deklarasi Motivasi
Belajar Melalui Adagium Perempuan*
(kegelisahan
kaum bersarung menyikapi koridor bertingkah laku—perempuan)
Berawal dari sebuah kisah, seorang
pengendara becak bermandi peluh menarik penumpang yang gemuk-gemuk di panas
matahari dan di jalan yang menanjak. Kisah yang lain misalnya, Seorang
mahasiswa bertekun mempelajari buku sampai malam, tidak menghiraukan lelah
kantuknya. Dan kisah Seorang petani yang mencangkul di sawahnya dari pagi
sampai petang tanpa berhenti, dan banyak cerita lainnya. Kemudian jika kita
perhatikan orang-orang itu, timbul pertanyaan dalam diri kita: mengapa mereka
melakukan atau bekerja seperti itu, apa yang mendorong mereka untuk berbuat
demikian?.
Itulah yang dikatakan motivasi,
yaitu dorongan yang timbul pada diri seseorang, sadar atau tidak sadar untuk
melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Motivasi itu sangat penting
dalam kegiatan belajar, bahkan motivasi bisa disebut sebagai syarat mutlak
untuk belajar. Yang sering terjadi, seperti cerita yang telah disampaikan di
atas, seseorang melakukan sesuatu karena ada maksud. Tak dapat dipungkiri,
seseorang melakukan sesuatu atas peribahasa perempuan.
Hal ini menjadi wajar, mengingat
semua manusia diciptakan memiliki dua unsur kesadaran. Yakni, unsur intrinsik
(dalam) dan ekstrinsik (luar). Menjadikan perempuan sebagai motivasi belajar,
termasuk motivasi unsur ekstrinsik, yaitu dorongan dari kesadaran luar diri
seseorang. Namun, menjadi cacat pada saat abad aksara ini adalah menjadikan
perempuan hanya sebagai ritus permainan saja, sehingga yang didapat adalah
konflik-konflik negatif atau tekanan batin.
Nah, yang menjadi persoalan
bagaimana kalau yang menjadikan perempuan sebagai motivasi belajar itu adalah
santri?, yang diketahui seorang santri terbatas oleh peraturan-peraturan
pesantren, misalnya tidak boleh berhubungan dengan perempuan. Dalam hal inilah,
seseorang terkadang melakukan penyelewengan pemaknaan terhadap pembacaan arti
menjadikan perempuan sebagai motovasi belajar. Yaitu menganggapnya, perempuan
itu harus bersama, berdampingan dan harus tahu yang dilakukannya--belajar. Padahal,
yang sebenarnya memaknai perempuan sebagai motivasi belajar adalah seseorang tekun belajar karena perempuan itu,
dan untuk kebaikannya.
Ini tetap tidak akan menjadi aib atau
kesalahan bagi seorang santri, karena menjadikan perempuan sebagai motivasi belajar
tanpa harus berhubungan dengan perempuan itu adalah hal yang diwajari. Sebab
tidak ada yang bertentangan dengan doktrin agama yang dianut pesantren. Artinya
boleh-boleh saja, yang tidak dibolehkan apabila ia melakukan sesuatu yang menyalahi
aturan agama dengan perempuan itu.
Memposisikan perempuan sebagai
motivasi belajar adalah tahap awal kebangkitan seseorang dari sifat
malas-malasan. Karena pada tahap selanjutnya, mereka belajar bukan lagi karena
perempuan itu, tetapi murni kesadarannya karena ia butuh ilmu untuk segera
dipelajari. Kemudian setelah ia merasakan belajar adalah sebuah kebutuhan
intelektualnya, maka yang didapat adalah dua sekaligus, yakni ilmu dan
perempuan. Perempuan mana sih yang tidak suka laki-laki suka belajar?.
Sikap waspada sangat dibutuhkan,
ketika seseorang sedang belajar karena perempuan. Karena tidak menutup
kemungkinan, perempuan itu akan membuat seseorang lengah akan kebutuhan
belajar. Inilah sifat keambiguan yang timbul ketika sedang berproses belajar
karena dorongan perempuan, yaitu antara peran mulya dan durja perempuan.
Hal ini, menuntut seseorang untuk
mampu bersikap bijak, berhati-hati dan waspada. Lengah sedikit saja, kegagalan
mewujudkan keinginan belajar untuk lebih tekun akan terganggu karena tidak
rukun. Karena hari ini, adalah abadnya banyak orang melakukan sesuatu hanya
karena membuang waktu. Apakah santri juga demikian?, seharusnya tidak.
*PERSPEKTIF OPLOSAN
Herman L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar