Terima
Kasih Guruku
(Stimulus kaum sarungan mengingat jasa ikhlas seorang guru)
Dari awal perjalanan
proses pendidikan, kita mengenal sosok penting dalam lembaga pendidikan, yakni
seorang guru. Sosok tangguh, yang mengupayakan terciptanya bangsa yang cerdas,
berkeadaban dan berkebangsaan. Maka tak heran jika tanggal 25 Nopember, ditetapkan
sebagai hari penting nasional bagi bangsa indonesia, yakni dengan nama Hari
Guru Nasional. Hal tersebut tidak lain bertujuan untuk mengingat peran mulia
para guru, peran ikhlas para guru dan jasa para guru yang tidak dapat dibalas
dengan materi.
Apakah kita tidak
pernah ingat, bahwa kita terlahir tanpa pengetahuan.
Tidak bisa membaca, menulis dan tidak bisa membedakan hal yang baik dan yang
jelek. Apakah kita juga pernah membayangkan, bagaimana nasib kita jika tidak
bisa membaca, menulis dan membedakan hal yang baik dan yang jelek. Barangkali
jika hal demikian yang terjadi, kita akan menjadi sampah dunia. Yang
keberadaannya sama sekali tidak pernah diakui oleh orang lain. Tetapi, sosok
berhati Malaikat menolong kita, mengubah jalan nasib kita dan memberikan jalan
bagi kita, agar kita berguna terhadap perkembangan kehidupan.
Inilah kemudian membuat
hati kita tersentak, membuat kita sadar bahwa kita tertolong oleh malaikat.
Tidak hanya itu, sosok guru yang bermuka malaikat masih saja menyumbangkan prilakunya
sebagai teladan bagi kita. Jika ia pernah berkata, seimbangkan hubungan kita
dengan Tuhan dan Manusia. Maka apa yang terjadi, kita melihat seorang guru
berusaha lebih dulu untuk melangkahkan kaki dan hatinya mengupayakan apa yang
ia bicarakan untuk benar-benar dilakukan. Dari hal ini mungkin kita hanya bisa
berucap atau bergumam dalam hati, guruku adalah panutanku di dalam kelas dan di
luar kelas. Sehingga tidak salah peribahasa indonesia menyebutkan bahwa,
seorang guru adalah sosok yang digugu dan ditiru.
Tetapi kemudian ada
pelengseran makna yang dilakukan oleh guru-guru yang ada pada era baru ini.
Jika kita pernah menyebutkan guru adalah pahlawan tanpa jasa, maka sebutan itu
hanya pantas untuk seorang guru era lama. Dan jika kita pernah bangga terhadap
guru, hingga kita pernah bergumam ia sebagai malaikat, karena sebagai seorang
yang digugu dan dituri, maka hal itu juga berlaku hanya untuk guru era lama.
Guru era baru menyebutkan bahwa, guru adalah seorang yang menuntut jasa, dan
kelakuannya seperti mereka yang banyak dosa, yakni merayu dan menipu bangsa.
Jika ini yang terjadi,
maka izinkanlah kami untuk berdoa pada Tuhan. Ya Tuhanku, munkinkah ini
jalan baik-Mu, atau inikah jalan terjal-Mu yang engkau sebut sebagai proses
menuju kebaikan. Tetapi, kami sudah tidak mampu melihatnya, jangankan melihat
mendengarnyapun, kami sudah merasa bising. Jika kami boleh memohon,
lenyapkanlah orang-orang seperti itu seperti engkau melenyapkan musuh-musuh
Nabi tempo dulu. Amin. Hal ini adalah ikhtiar kami, yang tidak mau
mempunyai sosok teladan yang demikian. Dan kami tidak mampu meluruskan kembali,
seorang guru yang telah menyalahi pengertian guru yang sebenarnya. Yakni
sebagai pentransformer pengetahuan dan kelakuan yang baik.
Tetapi kami tidak mau
menjadi orang yang munafik, kami akan tetap mengaku mereka guru. Tetapi dalam
tanda kutip “bukan lagi sebagai sosok yang digugu dan ditiru”. Kami akan
berusaha menerima, meskipun tujuan meraka mengajar bukan untuk mencerdasakan
bangsa. Sekalipun dengan alasan mencari uang dan alasan lainnya yang kurang ajar, kami tetap akan
menerimanya.
Oleh sebab hal itu,
kami ucapkan. Terima kasih guruku. Jasamu, keikhlasanmu dan segala kebaikanmu
tidak mampu kami balas dengan apapun. Kami hanya bisa melantunkan doa untukmu,
dan kami hanya mampu berrusaha untuk membuatmu selalu tersenyum, meskipun hanya
sekedar menceritakan kembali dongengmu pada generasi bangsa saat ini. Sekali
lagi, terima kasih guruku. Engkau akan tetap aku gugu dan aku tiru, dan engkau
akan tetap menjadi panutan hingga kami di jemput kematian.
Herman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar