Minggu, 21 Mei 2017

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang
Menanti buah harmoni tanpa henti
Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada keangguhan dan egoisme
Serta cerita yang belum berakhir kita tulis
Harus di akhiri melalui alur cerita yang tiba-tiba terbuat oleh nalar logisme.
                Maka, janganlah diharap buah ranum
                Sementara jemari-jemari tak mampu ku hisap
                Ahhhhh, tampaklah setiap sesuatu yang kusembunyikan
                Ceria dan suka adalah kesamaan
                Keragaman mimik semakin hari susut

                Haruskah sedemikian perih nganga luka…

Kamis, 04 Mei 2017

nyala sedih-bahagia

Tatkala aku digenggamnya
Aku mengingatnya, mengingat-Nya
Serupa katak dalam tempurung yang tak dapat pergi entah ke mana

Shahdu, tiupan angin dengan hasil suara seruling yang merdu
Merangsang rindu yang tak bisa istirahat di waktu malam; dan kapanpun
Hangatnya kopi tak lebih dari sekadar pemangku hangat untukku bertahan dengan cerita-cerita pilu yang sengaja aku pendam

Hebat, hebat, hebat...

Senin, 01 Mei 2017

Peremajaan Asrama Baru

Nilai-Nilai Humanistic dalam Pembangunan Asrama Baru
Telaah adaptif atas Lubangsa Selatan yang terus beriringan dengan zaman
            Dalam berbagai kegiatan—sarana-prasarana sudah menjadi bagian penting yang tak terpisahkan, hal ini merupakan factor penunjang atas terselenggaranya tujuan dan suksesnya visi dan misi yang telah direncanakan. Sehingga perlu adanya pembaruan—demi efektifitas kepadatan penduduk (santri), demikian halnya yang tengah dilakukan di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan; yakni melakukan peremajaan atas asrama santri.
            Selain itu, terdapat berbabagi internalisasi nilai-nilai keharmonisan yang dilakukan secara natural, tidak disengaja dan tanpa diduga. Misalnya gotong royong—sikap yang dielu-elukan pemerintah, yang akhir-akhir ini sudah mulai tidak terlihat, namun di pesantren ini sudah dianggap biasa dan sudah menjadi ruh setiap terlaksananya berbagai kegiatan yang bermacam-macam. Bagi santri, kerja keras adalah barakah.
            Lain halnya dengan sikap kekerabatan, di tengah-tengah selang-singkarutnya persoalan pluralism dan teloransi. Para santri telah mewujudkan dan mengusahakan impian Rasulullah Saw—masyarakat Madani atau dalam istilah orang Barat Civil society. Mereka masih berdiskusi tentang hal itu—tapi santri lebih cenderung pada pengamalan. Sehingga kerukunan dan kemajemukan yang ada di dalam pesantren tidak pernah menjadi persoalan—justru lebih menjadikan tampak kompleks dengan penuh keindahan.
            Mungkin sebagian dari mereka (santri) tidak bisa mendefinisikan sosialis dengan baik—alih-alih pernah mendengar, seolah mereka terasing dari kata itu. Namun pada hakikatnya sikap social telah menjadi mereka sendiri, tanpa mereka tahu apa maknanya, mereka lebih dahulu mempraktekkannya.
            Demikian sebagian dari berbagai keindahan kegiatan pesantren—pembangunan asrama baru. Naluri hidup kebersamaan dan berdampingan sudah menjadi kenyataan yang menyejukkan. Perbedaan yang dianggap sebagai sesuatu yang menggelisahkan, pesantren telah menunjukkan dengan ungkapan yang lain. Karena perbedaan adalah rahmat. Demikian istilah dalam pesantren.
            Dalam kalimat terjemahan yang asketis, inilah bentuk konkrit dari humanism yang sering digembar-gemborkan oleh banyak pihak. Meski dapat diakui secara kolektif mereka (santri) tidak kaya teori, tetapi mereka tidak miskin aplikasi. Maka pembangunan asrama baru adalah sebagian kegiatan yang menyimpan berbagai cerita kemanusiaan yang barang tentu ditemukan di luar Pesantren. Apalagi peremajaan asrama baru—bersamaan dengan terpilihnya ketua pengurus lama (yang diperbarui dengan semangat yang baru). Karena Lubangsa Selatan adalah perwujudan kehidupan yang dinamis.

Membaca Lingkungan.

Selasa, 21 Maret 2017

I"lusi"



Sebuah Basah; Basi!
            Kejadian sering menjadi rahasia manusia—ia tak sanggup menghadirkan praduganya atas kenyataan yang tak sesuai dengan kehendaknya. Berulang-ulang manusia mengutuk Tuhan sebagai dalang keadaan faktual. Ini suatu emosi di luar kendali; yang tak pantas dan tak patut sama sekali. Bukankah ketentuan Tuhan musti lebih baik dibanding ketentuan buatan manusia. Bahkan manuskrip yang tersimpan sekalipun, adalah skenario Tuhan yang melibatkan usaha manusia terdidik!.
            Manusia seringkali menuhankan dirinya dalam ketidaksadarannya. Kenyataan yang dianggap fitrah, tak jarang menyalahi kode etik penghambaan manusia atas Tuhannya. Ini tentang perasaan yang juga tak dirasakan. Ia berani mengklaim rasanya adalah manifesto rasa-Nya dengan tepat—hingga ia menyatakannya sebagai sesuatu yang suci. Padahal, takdir jauh lebih suci dari tafsir pikir manusia yang alami.
            Termasuk keadaanku denganmu!. Berkali-kali, berulang-ulang adalah imaji sebuah badai yang menerjang. Kerap kita terguling dengan keadaan sengsara, meki kita sanggup bangkit dengan sangat sakit. Kadang tangisan adalah jeritan paling tak tega aku dengarkan dari kesimpulan dialog angin dan bintang-bintang. Maka, rasimu menyampaikan rindumu—karena ia mungkin tak tega melihatku denganmu yang saling merindu.
            Sedalam apapun kajian kebahasaan; etimologi dan epistimologi tak akan pernah mampu mengisyaratkan rasa ini. Sulit dan tak bisa diwakili dengan peribahasa apapun. Pelangi bahkan merunduk ingin meneladaninya—tapi orang-orang berkata “jangan kau lanjutkan jika tak mau sengsara”. Bukankah NKRI adalah perwujudan kesengsaraan yang paling nampak. Tapi, orang-orang sepakat untuk sengsara. Aku pun ingin sengsara seperti KH. Abdullah Sajjad...
            Empirisme kita sering menimbulkan beberapa sangkaan; entah dengan dimensi positif atau negative. Namun, romantism yang tak sengaja kita buat adalah teladan roman banyak orang yang justru sengaja dibuat. Tak masuk akal bukan!, ini adalah kalimat terjemahan dari “kita saling menjamin rasa melalui ketulusan”. Karena peraduannya tak lain adalah sepertiga malam. Tengadah kita, hal yang kita pinta adalah cinta yang tak memaksa.
            Maka jangan bersedih sayang, karena kita telah berusaha bahagia dengan kebahagiaan tertinggi dari Tuhan. Bahkan kita telah berani memegang konsep, yang penting kita tetap tersenyum dalam keadaan apapun. Dan aku memintamu mendakwahkan ideology sederhana yang terbuat secara alami dari hubungan kita. Karena diriku yang tak sengaja melemparkan benih-benih itu, dirimu terlalu baik dan bersedia untuk membantuku merawatnya!.
            Meski kini sedang dalam ujian narasi patuh pada orangtua, semoga dirimu tetap etis melanjutkan langkahmu dengan hari-harimu. Aku yakin kau mampu, karena dirimu adalah perempuan tangguh, yang selalu teguh dan meneguhkan diriku. Sabarlah, karena dengannya ilalang akan mampu kita singkap—dan kita akan menemukan makna cinta yang sesungguhnya.
            Sayang, selamat malam.
            Karena aku hanya ingin menyapamu.
            Aku mau dirimu adalah dirimu sendiri.
            Eh lupa, senyum dulu donk…

Sikap Baik

Berbuat baik; Jangan Menunggu Orang Lain!
Oase Didin si pemulung sampah yang gemar melakukan kebajikan
Oleh: Herman L*
            Di abad global ini,  kita dengan mudah dapat memanifestasikan nilai-nilai kebaikan—entah, Ia menyimpan orientasi ketulusan atau pengharapan (agar juga diperlakukan baik oleh orang lain) pada intinya “gampanglah” berbuat baik pada zaman ini. Namun sayangnya, banyak orang yang malah berbuat sebaliknya—bahkan ironinya alih-alih berbuat kebajikan, justru ia mengalihakan praduganya pada sangkaan yang tidak baik—husnudzan.
            Dalam satu kisah misalnya, sebutlah si Didin, pemuda miskin di daerah itu. ia tidak sekolah—aktifitas hariannya ia lalui dengan membantu orang tuanya menjadi pemulung sampah. Ia tidak pernah keberatan, meski teman sebayanya menghabiskan waktunya di bangku sekolah. Bagi Didin, manusia terdidik bukan melulu yang ada di sekolah, tapi manusia terdidik adalah ia yang mampu membaca apapun; baik yang bentuknya tulisan, keadaaan atau alam. Pada intinya, Didin menrjemahkan kata “terdidik” adalah ia yang berbuat baik untuk sesama.
            Hingga dalam suatu waktu, di saat perjalanan pulangnya. Didin menemukan seorang lelaki gagah sedang memukul-mukul ban mobilnya yang sedang kempes.
            “kenapa Pak?” Tanya Didin.
            “ini mas, ban mobil saya sedang kempes. Padahal saya harus datang tepat waktu, karena saya ada janji dengan Bapak Bupati jam ini” ucap Bapak itu.
            “baiklah pak, tunggu di sini dulu saya akan membawa ban mobil ini ke bengkel sekitar sini dulu” begitu ucap Didin setelah bersusah payah membantu Bapak itu membuka ban yang sedang kempes itu.
            Singkat cerita, Didinpun datang kembali setelah Bapak itu menungguinya. Dan Didin kembali membantu untuk memasangnya. Akhirnya mobil itu bisa kembali digunakan untuk melanjutkan perjalanan. Sebelum Bapak itu meninggalkan Didin, Ia sempat menyodorkan ongkos ganti kerja Didin, “ini mas sebagai ucapan terima kasih saya pada sampean karena telah membantu saya”. “tidak usahlah Pak, ini memang tanggung jawab saya sebagai manusia”. “sebaiknya uang ini diberikan kepada yang lebih membutuhkan daripada saya—dan jangan sampai kebaikan berakhir di Bapak” timpal Didin seraya tersenyum tulus.
            Pada saat melanjutkan perjalanan, Bapak itu mampir ke warung kecil di daerah yang tak jauh dari tempat tadi. “Kopi Buk”. “ia nak tunggu sebentar”, Ibu paruh baya itupun datang memberikan kopi kepada lelaki itu. Setelah badannya terasa segar kembali, lelaki itu melanjutkan perjalannya dengan meninggalkan secarik kertas dengan tumpukan beberapa juta uang di atas meja warung Ibu itu.
            Ibu, mohon maaf sebelumnya. Bukan saya menganggap ibu sebagai orang tak mampu. Tetapi saya kebingungan ketika tadi di jalan bertemu dengan lelaki yang tidak mau menerima uang ini sebagai ucapan terima kasih atas perbuatnnya baiknya. Sekaligus pemuda itu berpesan—agar kebaikannya tidak berhenti pada saya. Dan saya melanjutkan perbuatan baik ini untuk ibu. Semoga kebaikan ini juga tidak berhenti di Ibu. Dan akhirnya saya sampaikan terima kasih. Begitulah kira-kira isi pesan secarik kertas yang ditinggalkan pemuda itu, ibu itupun terharu membacanya. Kemudian ia teringat dengan anaknya yang tidak sekolah—yang “menghibahkan” dirinya untuk mencari uang demi kesembuhan Ibunya yang sedang mengidap penyakit kanker untuk operasi. “Nak Didin, bukankah Tuhan tidak membiarkan kita” begitulah gumam ibu itu sanbil berdiri.
            Kisah di atas hanya sekedar kisah dengan pesan yang sangat sederhana—berbuatlah baik kepada siapapun. Maka tak salah apa yang dikatakan oleh sang Bapak Bangsa, Gusdur. “jika kamu bisa berbuat baik, orang tidak akan pernah bertanya apa agamamu, sukumu, bahasamu etnismu, suku dan rasmu”. Namun kini, perbuatan baik seolah dipisah oleh aling-aling. Ketika orang kaya hanya berkomunikasi baik sesama kayanya—tanpa memikirkan bahwa kekayaan itu hanyalah titipan Tuhan.
            Perbedaan juga termasuk yang paling kerap dijadikan alasan oleh manusia modern tentang perbuatan baiknya. Ketika ada orang yang berbeda agama dengan kita misalnya!, kita sering mencurigai sebagai mata-mata. Sehingga kita acuh tak acuh dan mengabaikan adanya orang itu. Padahal kata Didin, manusia terdidik adalah manusia yang bisa berbuat baik kepada siapapun.
            Orang-orang kadang saling menyimpan tanya, untuk apa berbuat baik?, padahal hidup ini adalah kompetisi—siapa yang bisa, ia yang bahagia!. Demikian stigma pikir manusia modern saat ini. tak ubahnya hukum rimba, siapa yang menang dia yang berkuasa. Tetapi kehidupan manusia lebih dari kehidupan hewan—dengan hukum rimbanya itu. Kehidupan manusia adalah kebaikan, kemakmuran, keadilan sosial dan kedaiaman milik bersama. Bukan milik orang kaya, pemerintah dan buka milik siapa-siapa. Tetapi milik kita (manusia) bersama. Maka, apakah kalian masih bertanya untuk apa berbuat baik. Didin telah mengajari kalian, kebaikannya kembali lagi padanya—karena Tuhan tidak membiarkan kita!. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
                                                                       
kalian semua bisa berbuat baik kok!Prilaku Baik

Keringetan



Kucuran Keringat Barakah, Dengan Kucuran Keringat Serakah
Oleh : Herman L.
            Indonesia adalah negara yang bikin ngeri, kengerian itu terlihat pada saat kita jalan-jalan pagi. Pada saat itu kita akan bertemu dengan sebagian warga negara Indonesia yang harus jalan-jalan pagi dengan menggendong keranjang sampah untuk menampung harta yang ia ngais mulai sejak adzan subuh, ia mengumpulkan botol air mineral dengan rasa yang tidak canggung dan tidak mengenal kata gengsi. Mungkin saja itu memang karena tuntutan, sehingga ia melakukannya sama seperti halnya orang yang bekerja di suatu perusahaan yang intens setiap pagi. Tetapi barangkali ia lebih berharga daripada orang yang mengais harta rakyat dan bukan haknya, untuk keperluan pribadi.
            Negara ini secara garis besar sudah lebih tinggi gengsinya, daripada untuk sekedar melakukan hal yang baik. Seperti contoh, ia tidak mau menjadi seorang petani, karena ia menganggap seorang petani tidak memiliki wibawa, rendah, dan barangkali dengan anggapan yang menyesakkan dada adalah tidak punya kehormatan. Ia lebih suka menjadi seorang yang tamak, rakus, dan tidak memiliki rasa yang manusiawi, ia seperti Babi. Ironinya ia lebih suka menjadi orang yang seperti Babi itu, dan menganggap rendah orang yang menjadi petani. Padahal jika dibandingkan orang petani lebih berwibawa, daripada orang yang bermental Babi itu.
            Jika demikian secara tidak langsung Indonesia dibawah kendali Babi, karena banyak diantara pemimpin kita yang tidak sengaja atau sengaja telah menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi. Hal ini bukan sesuatu yang diada-adakan melainkan bukti yang sudah menyatakan, bahwa banyak diantaranya yang tertangkap oleh KPK (komisi pemberantasan korupsi). Mengapa sedemikian menyeramkan negeri ini, kemudian ada pepatah yang kiranya khusus untuk negara ini, “yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin tidak ada”.
            Peraturan yang tidak berimbang, memaksa warga negara untuk hemat dan mengucurkan peluh kuning sekedar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, ada salah satu contoh yang barangkali bisa membuat orang yang membacanya menangis, apakah kita masih ingat dengan peristiwa yang diberitakan di media tentang seorang gadis yang duduk di kelas XII yang rela menjual Ginjalnya untuk mempertahankan kehidupan keluarganya. jika ingat, coba perhatikan langkah yang dilakukan pemerintah. Dan pertimbangkan sendiri apakah baik ataupun sebaliknya. Gadis itu bisa saja mencuri, dan melakukan apa saja secara paksa dan hal lainnya, tetapi ia menyikapinya dengan dingin sehingga ia tidak bersifat seperti seekor Babi.
                        Karya Lama.

           
keringat barakah

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...