Kamis, 31 Maret 2016

Pesantren salaf dan khalaf



Belajar pada “Perkawinan” Sejarah Pesantren Salaf dan Khalaf
Oleh: Herman
Judul: Jejak Intelektual Pendidikan Islam; Generasi Salafiyah dan Khalafiyah
Penulis: Zaitur Rahem, M.Pd.I
Penerbit: Pustaka Ilmu
Cetakan: Januari 2016
ISBN: 979-602-6835-05-5
Pendidikan Indonesia saat ini, sedang mengalami berbagai macam persoalan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Misalnya, prilaku remaja yang kian hari terjebak pada budaya modernisme. Yakni Konsumsi Narkoba, pelecehan seksual, tindakan kriminalitas dan banyak kasus yang lainnya. Hal ini dapat dijadikan dasar bahwa lembaga pendidikan tidak mampu membentuk manusia yang berpribadi sesuai dengan harapan, harapan bangsa dan agama.
            Mengadopsi persoalan di atas, Zaitur Rahem, M.Pd.I di dalam bukunya yang berjudul Jejak Intelektual Pendidikan Islam; Generasi Salafiyah dan Khalafiyah mencoba memberikan solusi alternatif melalui pendekatan historis pesantren. Karena dapat diketahui esensi pesantren sebagai lembaga pendidikan, yang sejak awal sampai hari ini tetap mampu mempertahankan tradisinya, sehingga pesantren dianggap sebagai benteng kuat Negara Indonesia dalam menjaga moral generasi bangsa.(Hal.59)
            Mengutip istilah Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul Menyemai Karakter Bangsa, hari ini perang informasi telah dimulai atau ia menyebutnya sebagai abad ke-aksara-an. Misalnya, berbagi ilmu melalui media, tetapi tidak memiliki tujuan yang mulya, hanya mengamalkan pengetahuan yang bersifat sistemis-hirarkis. Karena dapat dirasakan pada era kini, pengetahuan yang dimiliki bukan untuk menjunjung rasa rasio- sosialis, tetapi hanya bersifat pada pemenuhan kebutuhan atau kepentingan profesi. Ini terjadi karena ilmu pengetahuan hanya sebatas di otak belum menjadi hati dari setiap gerak langkah yang dilakukan.(Hal.26)
            Dalam bukunya, Zaitur  Rahem mencoba melakukan ijtihad dalam rangka menemukan resolusi yang tepat untuk menghadirkan jawaban atas masalah-masalah itu. Dan tepat sekali ia menghadirkan pesantren dan menjadikan lembaga pesantren sebagai subjek lembaga pendidikan yang patut di contoh, yang dikira mampu untuk menjawab konflik zaman tersebut. Hal ini dikarenakan, mengingat pesantren memiliki rujukan kitab suci, yakni al-Quran yang kebenarannya universal, relevan dan sesuai dengan perkembangan kekinian.
            Tanpa melupakan sejarah dalam buku terbitan pustaka ilmu ini, tertera bahwa pada mulanya lembaga pendidikan pesantren dimulai dari adanya langgar, yaitu lembaga pendidikan islam pertama (spesifik) di Madura. Memiliki bangunan yang sederhana, karena semua bahan-bahannya terbuat dari persediaan alam. Kayu, jhenur (daun kelapa) dan semacamnya. Dalam praktiknya langgar diasuh oleh seorang tokoh agama yang disebut Kiai atau ke Ajhi.  Kegiatan belajar mengajarnyapun sangat sederhana, seorang Kiai bisa molang (mengajar) dengan baik di depan santrinya, dan santri cukup mendengarkan saja. Tetapi pembelajaran di langgar ini, berjalan dinamis dan harmonis.(Hal.51)
            Sistem yang digunakan sangat berbanding terbalik dengan lembaga pendidikan yang biasa saat ini terjadi, yang digunakan adalah murni karena keikhlasan bukan untuk mengharap balasan. Mungkin saja kualitas keilmuan lulusan masa langgar tidak sepintar lulusan pendidikan islam era modern. Akan tetapi, pada sisi keterampilan (psikomotor) terutama sikap (afektif) lulusan era modern masih belum seperti yang diharapkan. Sedangkan lulusan masa langgar, dikenal sebagai memiliki pribadi yang telaten, disiplin, tawadhu’, hormat dan semacamnya. Hal inilah yang sangat berpengaruh untuk perkembangan institusi pendidikan pada masa selanjutnya, yaitu pesantren. 
            Pesantren merupakan lembaga pendidikan islam bergengsi di bumi Indonesia. Pondok pesantren ditengarai sudah ada sejak masa awal penyebaran agama Islam. Akan tetapi, data yang lebih konkrit pesantren tumbuh dan berkembang sekitar abad ke 13 sampai ke 19 M. yaitu setelah islamisasi mencapai tahap pribumisasi. (Hal.57) menurut segi operasional formalnya pesantren bisa dikategorikan menjadi dua, salaf dan khalaf.
            Pesantren Salafiyah digunakan untuk menyebut suatu komunitas yang tangguh dalam mempertahankan budaya ulama-ulama masa lalu. Atau sederhananya istilah ini muncul untuk membatasi antara kemajuan masa lalu dengan kemajuan setelahnya. Sedangkan pesantren khlafiyah substansinya memang sama dengan salafiyah, yang membedakan terletak pada sisi keterbukaan terhadap pengetahuan dan teknologi.(Hal.62)
            Adapun metode belajar yang digunakan merupakan pengembangan dari metode yang telah ada, yakni wetonan/bandungan. Tetapi disempurakan dengan dilengkapi metode hafalan, sorogan dan bahtsul masa’il. Meskipun dengan metode yang sederhana itu, lulusan atau out-put yang dihasilkan lebih menjamin ketimbang lulusan lembaga pendidikan yang dilengkapi dengan kurikulum Nasional seperti saat ini, yang lulusannya tidak jelas kemampuannya.
            Pada intinya, pesantren tetap berpegang teguh pada adagiumnya, “mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Hal ini sangat jelas sekali, bahwa sekalipun perkembangan global beraneka ragam, tetapi orang-orang pesantren tetap bersifat selektif dan waspada. Sehingga persoalan interaksi menjadi integrasi tidak akan terjadi kembali, dan kasus narkoba, pelecehan seksual, tindak kriminal dan semacamnya tidak akan pernah menjadi persoalan. Dan moral tetap terlestarikan, prilaku baik semisal tawadhu’, sopan, santun, penyabar, penyayang ala pesantren akan tetap menghiasi perkembangan zaman kekinian.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...