Belajar pada “Perkawinan” Sejarah Pesantren
Salaf dan Khalaf
Oleh: Herman
Judul: Jejak
Intelektual Pendidikan Islam; Generasi Salafiyah dan Khalafiyah
Penulis: Zaitur Rahem, M.Pd.I
Penerbit: Pustaka Ilmu
Cetakan: Januari 2016
ISBN: 979-602-6835-05-5
Pendidikan Indonesia saat ini, sedang mengalami berbagai macam
persoalan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Misalnya, prilaku remaja
yang kian hari terjebak pada budaya modernisme. Yakni Konsumsi Narkoba,
pelecehan seksual, tindakan kriminalitas dan banyak kasus yang lainnya. Hal ini
dapat dijadikan dasar bahwa lembaga pendidikan tidak mampu membentuk manusia
yang berpribadi sesuai dengan harapan, harapan bangsa dan agama.
Mengadopsi persoalan di atas, Zaitur
Rahem, M.Pd.I di dalam bukunya yang berjudul Jejak Intelektual Pendidikan
Islam; Generasi Salafiyah dan Khalafiyah mencoba memberikan solusi
alternatif melalui pendekatan historis pesantren. Karena dapat diketahui esensi
pesantren sebagai lembaga pendidikan, yang sejak awal sampai hari ini tetap
mampu mempertahankan tradisinya, sehingga pesantren dianggap sebagai benteng
kuat Negara Indonesia dalam menjaga moral generasi bangsa.(Hal.59)
Mengutip istilah Yudi Latif dalam
bukunya yang berjudul Menyemai Karakter Bangsa, hari ini perang
informasi telah dimulai atau ia menyebutnya sebagai abad ke-aksara-an.
Misalnya, berbagi ilmu melalui media, tetapi tidak memiliki tujuan yang mulya,
hanya mengamalkan pengetahuan yang bersifat sistemis-hirarkis. Karena dapat
dirasakan pada era kini, pengetahuan yang dimiliki bukan untuk menjunjung rasa
rasio- sosialis, tetapi hanya bersifat pada pemenuhan kebutuhan atau
kepentingan profesi. Ini terjadi karena ilmu pengetahuan hanya sebatas di otak
belum menjadi hati dari setiap gerak langkah yang dilakukan.(Hal.26)
Dalam bukunya, Zaitur Rahem mencoba melakukan ijtihad dalam rangka
menemukan resolusi yang tepat untuk menghadirkan jawaban atas masalah-masalah
itu. Dan tepat sekali ia menghadirkan pesantren dan menjadikan lembaga
pesantren sebagai subjek lembaga pendidikan yang patut di contoh, yang dikira
mampu untuk menjawab konflik zaman tersebut. Hal ini dikarenakan, mengingat
pesantren memiliki rujukan kitab suci, yakni al-Quran yang kebenarannya universal,
relevan dan sesuai dengan perkembangan kekinian.
Tanpa melupakan sejarah dalam buku
terbitan pustaka ilmu ini, tertera bahwa pada mulanya lembaga pendidikan
pesantren dimulai dari adanya langgar, yaitu lembaga pendidikan islam pertama
(spesifik) di Madura. Memiliki bangunan yang sederhana, karena semua
bahan-bahannya terbuat dari persediaan alam. Kayu, jhenur (daun kelapa)
dan semacamnya. Dalam praktiknya langgar diasuh oleh seorang tokoh agama yang
disebut Kiai atau ke Ajhi.
Kegiatan belajar mengajarnyapun sangat sederhana, seorang Kiai bisa molang
(mengajar) dengan baik di depan santrinya, dan santri cukup mendengarkan
saja. Tetapi pembelajaran di langgar ini, berjalan dinamis dan
harmonis.(Hal.51)
Sistem yang digunakan sangat
berbanding terbalik dengan lembaga pendidikan yang biasa saat ini terjadi, yang
digunakan adalah murni karena keikhlasan bukan untuk mengharap balasan. Mungkin
saja kualitas keilmuan lulusan masa langgar tidak sepintar lulusan pendidikan
islam era modern. Akan tetapi, pada sisi keterampilan (psikomotor) terutama
sikap (afektif) lulusan era modern masih belum seperti yang diharapkan. Sedangkan
lulusan masa langgar, dikenal sebagai memiliki pribadi yang telaten, disiplin,
tawadhu’, hormat dan semacamnya. Hal inilah yang sangat berpengaruh untuk
perkembangan institusi pendidikan pada masa selanjutnya, yaitu pesantren.
Pesantren merupakan lembaga
pendidikan islam bergengsi di bumi Indonesia. Pondok pesantren ditengarai sudah
ada sejak masa awal penyebaran agama Islam. Akan tetapi, data yang lebih
konkrit pesantren tumbuh dan berkembang sekitar abad ke 13 sampai ke 19 M.
yaitu setelah islamisasi mencapai tahap pribumisasi. (Hal.57) menurut segi
operasional formalnya pesantren bisa dikategorikan menjadi dua, salaf dan
khalaf.
Pesantren Salafiyah digunakan untuk
menyebut suatu komunitas yang tangguh dalam mempertahankan budaya ulama-ulama
masa lalu. Atau sederhananya istilah ini muncul untuk membatasi antara kemajuan
masa lalu dengan kemajuan setelahnya. Sedangkan pesantren khlafiyah
substansinya memang sama dengan salafiyah, yang membedakan terletak pada sisi
keterbukaan terhadap pengetahuan dan teknologi.(Hal.62)
Adapun metode belajar yang digunakan
merupakan pengembangan dari metode yang telah ada, yakni wetonan/bandungan. Tetapi
disempurakan dengan dilengkapi metode hafalan, sorogan dan bahtsul masa’il.
Meskipun dengan metode yang sederhana itu, lulusan atau out-put yang dihasilkan
lebih menjamin ketimbang lulusan lembaga pendidikan yang dilengkapi dengan
kurikulum Nasional seperti saat ini, yang lulusannya tidak jelas kemampuannya.
Pada intinya, pesantren tetap
berpegang teguh pada adagiumnya, “mempertahankan yang lama yang baik dan
mengambil yang baru yang lebih baik”. Hal ini sangat jelas sekali, bahwa
sekalipun perkembangan global beraneka ragam, tetapi orang-orang pesantren
tetap bersifat selektif dan waspada. Sehingga persoalan interaksi menjadi
integrasi tidak akan terjadi kembali, dan kasus narkoba, pelecehan seksual,
tindak kriminal dan semacamnya tidak akan pernah menjadi persoalan. Dan moral
tetap terlestarikan, prilaku baik semisal tawadhu’, sopan, santun, penyabar,
penyayang ala pesantren akan tetap menghiasi perkembangan zaman kekinian.