IDEALISME MENDIDIK ANAK
Oleh: Herman L*
Data Buku;
Judul Buku: Susah Senang Bersama si Buah Hati
Penulis : A. Dardiri Zubairi
Penerbeit: Cantrik Pustaka
Cetakan: Mei 2016
ISBN: 978-602-74047-3-1
Anak
merupakan amanah bagi kedua orang tuanya. karena amanah, maka setidaknya kedua
orang tua menjaga amanah tersebut dengan sebaik-baiknya dan penuh dengan
tanggung jawab. Secara substansial, anak merupakan titipan Tuhan yang
dilahirkan dari rahim seorang ibu untuk dididik. Hal inilah yang menyebabkan
dosa tatkala orang tua melalaikan adanya anak tersebut.
Ada
banyak orang tua yang telah keliru mendidik anak-anaknya, dimulai dari cara
menghargai, mengasihi, dan cara memberikan nilai-nilai keteladanan lainnya.
Sebut saja misalnya, beberapa kisah mengenai anak yang ditinggal orang tuanya
bekerja ke luar kota. Mungkin ia, anak tersebut tercukupi kebutuhan
lahiriahnya, namun mungkinkah orang tuanya juga menyadari bahwa anak yang
ditinggalnya tak merasa cukup sama sekali akan kebutuhan ruhaniahnya—yang
meliputi kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Hal
di atas merupakan sekian dari banyaknya kesalahan orang tua dalam menciptakan
karakter baik terhadap anak. Dari perihal itulah, memungkinkan A. Dardiri
Zubairi menjawab melalui bukunya yang berjudul Susah Senang Bersama si Buah
Hati. Di dalam bukunya, K. Dardiri (sapaan beliau di kampungnya) menuliskan
beberapa kisah yang diperoleh dari pengalaman, termasuk pengalaman pribadi dan
orang lain dalam mengasuh dan mendidik anak.
Di
dalam buku yang diterbitkan Cantrik Pustaka ini, A. Dardiri Zubairi
menyingkap bias yang telah lama membumi, yakni tentang beberapa kesalahan
menyayangi si kecil dengan baik. Hingga ia menyusunnya dimulai dari refleksi,
inspirasi dan metode mendidik karakter anak. Tak terkecuali tentang contoh yang
telah disebutkan di atas. Maka, tidak berlebihan jika Beliau memberikan judul
dalam salah satu tulisannya dengan judul Orangtua Lengkap, Tapi Anak Kok
Yatim Piatu?. Hal ini didasarkan pada kasus yang beliau temui, yakni
tentang seorang siswanya yang sesenggukan menangis ketika curhat tentang
masalah keluarganya. Orangtuanya lengkap, kebutuhan materinya tercukupi. Tapi
satu hal yang masih belum. Yaitu “digadaikannya” suplai kasih sayang terhadap
anak. Berupa komunikasi yang tidak hangat, ketika anak memiliki masalah orang
tuanya abai dan tak pernah memahaminya. (Hal 31).
Banyak
orangtua hanya cenderung memahami kebahagian
anak melalui konteks kebutuhan lahiriah saja. Padahal kebahagiaan anak tidak
bisa diukur dengan pemenuhan lahiriah semata. Mereka butuh sapaan, pelukan,
usapan, perhatian, dan kasih sayang. (Hal 36). Justru memenuhi kebutuhan anak
sebatas lahiriah saja cenderung memanjakan anak dan memiliki stigma pikir yang
instan. Sehingga, jangan pusatkan kesalahan pada anak, jika dikemudian hari
anak tidak bisa mandiri dan memiliki mental sebagai penikmat produk saja. Dan
iapun hidup bergantung pada orang lain.
Sayang
jangka panjang dan sayang jangka pendek, begitulah istilah beliau didalam
memandang kesalahan tafsir orang tua terhadap kebutuhan anak. Salah satu
contohnya, banyak dari orang tua tidak tega (ibu khususnya) ketika melihat
anaknya menangis sesenggukan karena alasan atau tanpa alasan, bisa karena ingin
membeli mainan, cokelat, es krim dan macam-macam. Hingga pada akhirnya, mereka
menuruti apapun yang anak minta dan inginkan, padahal hal ini berakibat fatal
pada mental anak. Karena jika anak dituruti terus, ujung-ujungnya anak akan
boros dan menjadi penuntut. Mungkin tidak masalah kalau orang tuanya masih
hidup—karena masih ada sandaran untuk menuntut. Namun kalau orang tuanya tidak
ada, ia akan menuntut sama siapa?. (Hal 158)
Sungguh
sangat tidak sederhana seharusnya setiap pasangan hidup suami istri memaknai
ikatan pernikahan. Hal ini dikarenakan, mereka dititipi amanah yang sangat
besar oleh Tuhan—yakni seorang anak yang dilahirkan fitrah—meskipun sedikit
dari mereka, ada yang ditakdirkan lain untuk tidak mempunyai anak. Oleh sebab
itu, menuntut para orang tua untuk merencakan karakter apa yang ingin
ditanamkan pada diri anak—mendidik anak bukan perkara alamiah.
Sejatinya
orang tua sudah jelas merumuskan, karakter apakah yang ingin ditanamkan kepada
anak dan bagaimana cara melakukan penanaman nilai-nilai itu?. (Hal 175). Karena
dapat dipastikan, orang tua akan kesulitan untuk menanamkan karakter luhur bagi
anaknya secara konsisten jika tanpa perspektif yang jelas. Dan yang terpenting
adalah sikap keteladan yang dicontohkan oleh orang tua, artinya sangat menjadi
tidak mungkin mendidik anak agar bisa berbuat jujur, sedangkan orang tuanya
sering berbohong. (Hal 182)
Selain
itu, melakukan evaluasi terhadap penanaman karakter luhur bagi anak juga
penting. Hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui seberapa jauh tingkat
keberhasilan atau capaian mendidik anak. Setidaknya, dari adanya evaluasi ini
dapat diketahui kekuatan dan kelemahannya.(Hal 242)
Membaca
buku ini, menjadikan semua orang sadar. Para orangtua khususnya, bahwa telah
banyak kekeliruan yang telah mereka lakukan. Mulai me-yatimkan anak, anak yang
dihargai dengan rupiah, otonomi anak yang tergadai dan kasus-kasus sederhana
lainnya. Dan hal ini dapat kita baca dari kumpulan tulisan A. Dardiri Zubairi.
Pemilihan diksi katanya juga tidak menggunakan bahasa yang berat-berat, renyah,
sederhana dan gampang dipahami. Selamat membaca!.
*Penggagas
Komunitas Desas Desus (KASUS), Santri PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.