Jumat, 19 Agustus 2016



IDEALISME MENDIDIK ANAK
Oleh: Herman L*
Data Buku;
Judul Buku: Susah Senang Bersama si Buah Hati
Penulis : A. Dardiri Zubairi
Penerbeit: Cantrik Pustaka
Cetakan: Mei 2016
ISBN: 978-602-74047-3-1
            Anak merupakan amanah bagi kedua orang tuanya. karena amanah, maka setidaknya kedua orang tua menjaga amanah tersebut dengan sebaik-baiknya dan penuh dengan tanggung jawab. Secara substansial, anak merupakan titipan Tuhan yang dilahirkan dari rahim seorang ibu untuk dididik. Hal inilah yang menyebabkan dosa tatkala orang tua melalaikan adanya anak tersebut.
            Ada banyak orang tua yang telah keliru mendidik anak-anaknya, dimulai dari cara menghargai, mengasihi, dan cara memberikan nilai-nilai keteladanan lainnya. Sebut saja misalnya, beberapa kisah mengenai anak yang ditinggal orang tuanya bekerja ke luar kota. Mungkin ia, anak tersebut tercukupi kebutuhan lahiriahnya, namun mungkinkah orang tuanya juga menyadari bahwa anak yang ditinggalnya tak merasa cukup sama sekali akan kebutuhan ruhaniahnya—yang meliputi kasih sayang dari kedua orang tuanya.
            Hal di atas merupakan sekian dari banyaknya kesalahan orang tua dalam menciptakan karakter baik terhadap anak. Dari perihal itulah, memungkinkan A. Dardiri Zubairi menjawab melalui bukunya yang berjudul Susah Senang Bersama si Buah Hati. Di dalam bukunya, K. Dardiri (sapaan beliau di kampungnya) menuliskan beberapa kisah yang diperoleh dari pengalaman, termasuk pengalaman pribadi dan orang lain dalam mengasuh dan mendidik anak.
            Di dalam buku yang diterbitkan Cantrik Pustaka ini, A. Dardiri Zubairi menyingkap bias yang telah lama membumi, yakni tentang beberapa kesalahan menyayangi si kecil dengan baik. Hingga ia menyusunnya dimulai dari refleksi, inspirasi dan metode mendidik karakter anak. Tak terkecuali tentang contoh yang telah disebutkan di atas. Maka, tidak berlebihan jika Beliau memberikan judul dalam salah satu tulisannya dengan judul Orangtua Lengkap, Tapi Anak Kok Yatim Piatu?. Hal ini didasarkan pada kasus yang beliau temui, yakni tentang seorang siswanya yang sesenggukan menangis ketika curhat tentang masalah keluarganya. Orangtuanya lengkap, kebutuhan materinya tercukupi. Tapi satu hal yang masih belum. Yaitu “digadaikannya” suplai kasih sayang terhadap anak. Berupa komunikasi yang tidak hangat, ketika anak memiliki masalah orang tuanya abai dan tak pernah memahaminya. (Hal 31).
            Banyak orangtua hanya cenderung  memahami kebahagian anak melalui konteks kebutuhan lahiriah saja. Padahal kebahagiaan anak tidak bisa diukur dengan pemenuhan lahiriah semata. Mereka butuh sapaan, pelukan, usapan, perhatian, dan kasih sayang. (Hal 36). Justru memenuhi kebutuhan anak sebatas lahiriah saja cenderung memanjakan anak dan memiliki stigma pikir yang instan. Sehingga, jangan pusatkan kesalahan pada anak, jika dikemudian hari anak tidak bisa mandiri dan memiliki mental sebagai penikmat produk saja. Dan iapun hidup bergantung pada orang lain.  
            Sayang jangka panjang dan sayang jangka pendek, begitulah istilah beliau didalam memandang kesalahan tafsir orang tua terhadap kebutuhan anak. Salah satu contohnya, banyak dari orang tua tidak tega (ibu khususnya) ketika melihat anaknya menangis sesenggukan karena alasan atau tanpa alasan, bisa karena ingin membeli mainan, cokelat, es krim dan macam-macam. Hingga pada akhirnya, mereka menuruti apapun yang anak minta dan inginkan, padahal hal ini berakibat fatal pada mental anak. Karena jika anak dituruti terus, ujung-ujungnya anak akan boros dan menjadi penuntut. Mungkin tidak masalah kalau orang tuanya masih hidup—karena masih ada sandaran untuk menuntut. Namun kalau orang tuanya tidak ada, ia akan menuntut sama siapa?. (Hal 158)
            Sungguh sangat tidak sederhana seharusnya setiap pasangan hidup suami istri memaknai ikatan pernikahan. Hal ini dikarenakan, mereka dititipi amanah yang sangat besar oleh Tuhan—yakni seorang anak yang dilahirkan fitrah—meskipun sedikit dari mereka, ada yang ditakdirkan lain untuk tidak mempunyai anak. Oleh sebab itu, menuntut para orang tua untuk merencakan karakter apa yang ingin ditanamkan pada diri anak—mendidik anak bukan perkara alamiah.
            Sejatinya orang tua sudah jelas merumuskan, karakter apakah yang ingin ditanamkan kepada anak dan bagaimana cara melakukan penanaman nilai-nilai itu?. (Hal 175). Karena dapat dipastikan, orang tua akan kesulitan untuk menanamkan karakter luhur bagi anaknya secara konsisten jika tanpa perspektif yang jelas. Dan yang terpenting adalah sikap keteladan yang dicontohkan oleh orang tua, artinya sangat menjadi tidak mungkin mendidik anak agar bisa berbuat jujur, sedangkan orang tuanya sering berbohong. (Hal 182)
            Selain itu, melakukan evaluasi terhadap penanaman karakter luhur bagi anak juga penting. Hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui seberapa jauh tingkat keberhasilan atau capaian mendidik anak. Setidaknya, dari adanya evaluasi ini dapat diketahui kekuatan dan kelemahannya.(Hal 242)
            Membaca buku ini, menjadikan semua orang sadar. Para orangtua khususnya, bahwa telah banyak kekeliruan yang telah mereka lakukan. Mulai me-yatimkan anak, anak yang dihargai dengan rupiah, otonomi anak yang tergadai dan kasus-kasus sederhana lainnya. Dan hal ini dapat kita baca dari kumpulan tulisan A. Dardiri Zubairi. Pemilihan diksi katanya juga tidak menggunakan bahasa yang berat-berat, renyah, sederhana dan gampang dipahami. Selamat membaca!.
*Penggagas Komunitas Desas Desus (KASUS), Santri PP. Annuqayah Lubangsa Selatan.

rinaimu

Sengaja taburan bunga tak ranum ku buang Menanti buah harmoni tanpa henti Sembari nyala hati dan tawa sanubari tak berani tampak pada k...